Rabu, 10 Oktober 2012

Masjid HM Soeharto, Bosnia Herzegovina, Sarajevo

















Mesjid H.M Soeharto, mesjid terbesar dan
terpenting di Bosnia


Selain monumental, keberadaan mesjid itu menjadi simbol bagi solidaritas Muslim Indonesia terhadap perjuangan rakyat Bosnia yang menderita akibat perang. Pak Harto melakukan perjalanan bersejarah ke Bosnia yang sedang diamuk perang. Perjalanan ke Sarajevo, ibukota Bosnia Herzegofina, Maret 1995, memang penuh risiko. 
Namun tekad Pak Harto untuk berkunjung ke Bosnia sudah bulat. Perjalanannya ke Sarajevo setelah menghadiri KTT untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen, Denmark, dan kunjungan balasan ke Kroasia.


Dalam referendum Mei 1991, pasca berakhirnya kekuasaan komunis di negara-negara bekas Yugoslavia, Kroasia dan Bosnia, memutuskan menjadi negara yang merdeka. Indonesia telah membuka hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut. Di Bosnia, Pak Harto meresmikan Masjid M. Soeharto yang dibangun dengan dana bantuan pengusaha Indonesia, H. Probosutedjo.


Tahun 1995, kawasan bekas Yugoslavia ini dilanda perang saudara yang melibatkan pasukan Serbia-Kroasia dan Serbia-Bosnia. Kedua pihak mengerahkan pasukan dan persenjataan berat, termasuk serangan mortir dan artileri besar-besaran. Saat itu perang Balkan sedang menghangat.


Dalam penerbangan ini semua anggota rombongan sesuai ketentuan harus menggunakan rompi anti peluru dan menandatangani pernyataan menanggung segala risiko. Pak Harto melakukannya karena menyerahkan dirinya kepada kekuasaan Allah. Kekhawatiran bagi keamanan perjalanan Presiden RI ke Sarajevo, tidak saja ada di kalangan pejabat Indonesia tetapi juga para staf PBB di Zagreb.


Presiden Soeharto berada di Sarajevo sekitar dua jam dan mengadakan pembicaraan dengan Presiden Bosnia Alija Izetbegovic. Ketika itu, Alija sangat mengharapkan Pak Harto mengambil peranan aktif untuk mengatasi kemelut yang melanda negerinya.
Perjalanan yang penuh risiko ini dilakukan Pak Harto karena komitmennya yang kuat selaku Ketua GNB, agar bisa membantu terciptanya perdamaian di kawasan Balkan. Pak Harto berupaya keras menghentikan konflik bersenjata yang menewaskan rakyat sipil, khususnya pembantaian muslim Bosnia.


Pada awal Maret 1995, Soeharto, yang seperti biasa didampingi beberapa pembantu terdekatnya, seperti Mensesneg Moerdiono dan Menlu Ali Alatas mengadakan lawatan ke Eropa. Dalam agenda kunjungan itu, Soeharto juga akan ke Sarajewo, ibukota Bosnia, yang ketika itu menjadi kawasan perang yang brutal.


ABRI mengirimkan pasukan pendahulunya untuk menyiapkan kedatangan Soeharto beserta rombongan ke Bosnia, termasuk melakukan pendekatan kepada pemerintah Bosnia serta berbagai faksi yang sedang berseteru. Ketika rombongan Presiden RI tiba di Eropa, belum ada kepastian bisa tidaknya rombongan itu ke Bosnia. Dalam suasana belum pasti itu, sebuah pesawat milik PBB yang melintas di Bosnia ditembak jatuh pada 11 Maret 1995. 


Kejadian itu memberikan tekanan yang tinggi bagi rombongan Indonesia yang ingin ke Bosnia tersebut. Namun, Soeharto memutuskan tetap pergi ke medan tempur itu pada 13 Maret, atau dua hari setelah pesawat PBB ditembak jatuh. Persiapan pun terus dilaksanakan, mulai menyiapkan substansi pertemuan hingga persiapan pengamanan. 


Puluhan wartawan yang menjadi bagian rombongan kunjungan presiden pun berharap bisa ikut penerbangan "berani mati" ke kawasan yang ketika itu sedang diwarnai pertumpahan darah itu. Maka, mulai lah banyak rayuan yang disampaikan ke Moerdiono, penanggung jawab perjalanan, agar bisa masuk dalam daftar yang ikut ke Sarajevo, ibukota Bosnia. Upaya rayu-merayu itu berjalan alot, karena sudah dipastikan bahwa jumlah rombongan yang akan ikut Soeharto ke Bosnia itu sangat terbatas.


Akhirnya Moerdiono memutuskan bahwa hanya dua wartawan yang akan ikut terbang ke Bosnia, yakni dari LKBN ANTARA serta RRI. Alasan pemilihan itu akhirnya dapat diterima oleh puluhan wartawan lainnya. Dua wartawan itu kemudian mendapat tugas untuk membuat laporan kepada teman-teman wartawan yang tidak ikut dalam penerbangan itu, walaupun ketika itu belum diketahui cara melaporkan berita kepada mereka dan kepada redaksi masing-masing.


'Kontrak mati'


Akhirnya Presiden Soeharto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo, ibu kota bosnia Herzegovina, pada 13 Maret 1995. Jumlah penumpang pesawat buatan Rusia itu hanya 15 orang yang terdiri atas seorang wanita petugas PBB, serta 14 orang Indonesia.


Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk ANTARA dan RRI.
Para wartawan yang tinggal di Kroatia kemudian menyalami ANTARA dan RRI di tangga pesawat dan pada wajah-wajah mereka tampak jelas kekhawatiran atau ketakutan akan nasib rombongan ini. Mungkin juga, perasaan kurang beruntung karena mereka tidak bisa turut.


Tidak lama setelah pesawat PBB itu tinggal landas dari Kroasia, seluruh rombongan mendapat sebuah formulir berbahasa Inggeris yang harus ditandatangani semua orang, termasuk Soeharto. Formulir itu berupa penegasan bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam penerbangan itu. Walau sempat ragu-ragu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menandatangani kontrak itu. Terlihat juga Soeharto, Moerdiono, Ali Alatas membubuhkan tanda tangannya dalam formulir tersebut.


Setelah terbang sekitar satu jam, akhirnya pesawat buatan Rusia itu mendarat dengan mulus di Sarajevo.Sambil mengenakan rompi anti peluru ANTARA pun dengan tergesa keluar pesawat agar bisa memotret Soeharto turun dari pesawat.


Ketika itu, Soeharto mendapat pengawalan sangat ketat oleh pasukan bersenjata PBB serta Paspampres. Kemudian anggota rombongan diperintahkan segera masuk ke kantor PBB di bandara itu sambil menunggu persiapan ke kantor pemerintah setempat di tengah kota. Untuk rombongan itu, PBB menyediakan beberapa kendaraan lapis baja pengangkut personel (armoured personel carrier/APC). Soeharto yang juga naik APC disertai ajudan dan pengawal serta seluruh anggota rombongan kemudian berangkat ke pusat kota Sarajevo dengan mendapat pengawalan yang super ketat.


Begitu sampai di pusat pemerintahan Bosnia, Soeharto langsung mengadakan pertemuan tertutup dan anggota rombongan lainnya tidak diperkenankan pergi ke tempat lain agar terhindar dari kemungkinan serangan bersenjata dan penembak gelap. Sambil menunggu, ANTARA dan RRI mulai gelisah karena tidak tahu cara untuk mengirim berita. Akhirnya berkat bantuan juru foto Saidi, kedua wartawan ini bisa berbicara dengan Dan Grup A Paspampres Kolonel Sjafrie untuk memakai pesawat telepon langsung yang disiapkan untuk Soeharto.Tanpa memakai kode akses lokal atau internasional, giliran pertama diberikan kepada wartawan RRI untuk langsung menelepon ke kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.Ketika itu dia langsung bisa mengudara dan laporan berita olah raga yang ketika itu, sekira pukul 20.10 WIB, sedang disampaikan RRI di sela laporan langsung dari Bosnia.


Kemudian giliran ANTARA menelepon ke Jakarta dan dilanjutkan ke wartawan-wartawan yang menunggu di Kroasia untuk memberikan laporan mengenai kunjungan Soeharto di negeri yang sedang berperang itu.Pengalaman mengirim berita dari medan perang itu bakal tak terlupakan.Setelah Soeharto berunding dengan pejabat-pejabat tinggi Bosnia, akhirnya rombongan kembali ke bandara untuk selanjutnya terbang lagi ke Kroasia. Namun ANTARA dan RRI ternyata tidak bisa lagi satu pesawat dengan Soeharto karena ada dua jenderal TNI yang datang mendahului Soeharto harus ikut satu pesawat dengan presiden.


Dengan bantuan seorang letnan kolonel Paspampres, ANTARA dan RRI hari itu juga bisa bergabung dengan menggunakan pesawat PBB yang mengangkut ratusan prajurit PBB yang akan istirahat di Kroasia.Malam itu juga, kedua wartawan ini tiba di Kroasia. Tepuk tangan meriah diberikan wartawan lain ketika mereka melihat dua wartawan itu sudah berada di lobi hotel dengan selamat.Perjalanan Soeharto ke medan perang itu, walaupun tidak diikuti dengan konperensi internasional mengenai penyelesaian masalah Bosnia seperti direncanakan, semula tetap dikenang sebagai sebuah perjalanan bersejarah. Lawatan itu akhirnya menghasilkan berdirinya sebuah mesjid megah di ibu kota Bosnia yang merupakan hasil penyaluran bantuan banyak dermawan asal Indonesia.


Sumber : Info Dunia Militer

Peran Serta Indonesia Membantu Perjuangan Kaum Muslimin Di Negara Lain Era Presiden Soeharto






















KIRIMAN SENJATA DARI PAK SOEHARTO
UNTUK PEJUANG ISLAM

Pemerintah Indonesia saat ini bisa dianggap berdiam diri atau tidak proaktif dengan apa yang terjadi di dunia Islam. Kita lihat saja dari kasus di Rohingya, Suriah, atau bahkan yang terjadi di Palestina,yang telah diupayakan pemerintah Indonesia, sepertinya tidak selaras dengan potensi kekuatan politik bangsa Indonesia – sebagai bangsa dengan kaum muslimin terbesar di dunia – yang semestinya bisa lebih gagah menyuarakan keadilan dan membela kebenaran. Kita bisa membandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh Mesir dan Turki dalam hal ini.

Namun sejatinya, kita juga bisa membandingkan dengan apa yang terjadi dalam sejarah bangsa Ini, khususnya pada masa orde Baru di bawah kepemimpinan pak Harto. Sekali lagi kita tidak sedang membahas profil pak harto secara keseluruhan, yang barangkali masih sangat kontroversial bagi sebagian orang. Kita hanya membahas tentang aksi riil yang telah dilakukan pak Harto pada waktu itu untuk mendukung perjuangan dunia Islam, dengan harapan pemimpin saat ini mampu meneladaninya, dan setidaknya kita generasi muda mempunyai semangat yang kuat untuk melanjutkannya dan peran-peran positif lainnya.

Tentu jika kita bicara tataran pidato dan sikap seorang Presiden untuk mendukung dunia Islam atau anti pejajahan, akan banyak terungkap dalam dokumen maupun arsip sejarah. Saya tidak berputar di seputar statemen, tapi bagaimana aksi riil pemerintahan Soeharto mengirimkan bantuan senjata secara langsung, untuk mendukung perjuangan kaum muslimin disana. Kapan sajakah ?

Pertama : Pengiriman Persenjataan kepada Mujahidin 
Afghanistan (Tahun 1981)

Kisah ini dipaparkan oleh Marsekal Muda (Purn) Teddy Rusdy yang merupakan tangan kanan Benny Moerdani di bidang intelijen. Beliau membersamai Moerdani selama kurun waktu 20 tahunan lebih. Saya paparkan kisah ini sebagaimana dimuat dalam situs garudamiliter.com

“ Pada 1981, Teddy Rusdy mendampingi Pak Benny di Islamabad pertemuan rahasia dengan petinggi intelijen Pakistan yang membahas membantu logistik dan persenjataan Mujahidin Afghanistan.

Kata Teddy, saat itu, para mujahidin Afghanistan membutuhkan senjata yang sama dengan hasil rampasan yaitu buatan Uni Soviet. “Kebetulan senjata buatan Uni Soviet banyak di miliki ABRI saat Trikora dan Dwikora,” ungkap Teddy. Dengan persetujuan Presiden Soeharto terkumpul senjata-senjata buatan Uni Soviet. Senjata ini dikumpulkan di gudang khusus milik staf Hankam dan Gudang Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. “Kita hapus nomor seri yang tertera dalam setiap senjata untuk mengaburkan asal sumber senjata tersebut,” sergah Teddy. Semua senjata dimasukkan di dalam peti dan diberi tanda palang merah, dicampur dengan peti obat-obatan dan selimut.

Kata Teddy, operasi ini tidak melibatkan Atase Pertahanan RI di Pakistan yang waktu itu dijabat Kolonel Harjanto. “Ia tidak dilibatkan untuk menghindari kasus diplomatik apabila operasinya bocor.” Akhirnya operasi ini berjalan dengan mulus.

Kedua : Pengiriman Persenjataan pada Mujahidin Bosnia 
(Tahun 1992)

Dukungan berikutnya tidak secara langsung dari pak Soeharto, melainkan melalui adiknya yaitu Probosutejo, yang secara khusus menugaskan Soeripto – yang dikenal dengan Agen Intelijen Tiga Zaman- untuk membantu persenjataan Mujahidin Bosnia. Dengan berbekal dana sekitar 3 Milyar, pada waktu itu tentu jumlah yang sangat besar, Soeripto menghabiskan waktu 2 bulan di kawasan konflik itu untuk membeli senjata di pasar gelap, dengan segenap marabahaya dan konsekuensi untuk ditipu dan ditembak setiap saat. Juga kendala pengiriman senjata apakah lewat darat atau udara yang keduanya sama-sama berpotensi untuk diperiksa secara ketat. Akhirnya Soeripto berhasil membeli dan mengirimkan sejumlah peluru, senjata laras panjang, dan utamanya AK47 bagi kepentingan mujahidin Bosnia. Semua senjatanya baru dan diperiksa satu persatu oleh Soeripto.

Kisah petualangannya selama 2 bulan memasok senjata itu dilukiskan oleh Soeripto dengan nada bercanda : jika difilmkan akan lebih menegangkan dari James Bond. Soeripto juga mengaku tidak tahu apakah langkahnya tersebut dikoordinasikan oleh Probosutedjo kepada Soeharto atau tidak. Dalam pandangan saya, operasi semacam ini bukan kelasnya Probosutedjo secara pribadi, tentulah ada campur tangan rahasia Presiden sebagaimana disebutkan oleh Teddy Rusdy saat pengiriman senjata sebelumnya ke Afganhistan.

Akhirnya, bercermin dengan sepak terjang pemerintahan Indonesia pada saat yang lalu, khususnya dukungan riil pada perjuangan dunia Islam. Bagaimana dengan pemerintahan yang sekarang ? Apakah cukup dengan kata-kata himbauan dan prihatin saja ? Atau ada upaya diam-diam tapi riil langsung dirasakan kemanfaatannya bagi rakyat Palestina, Suriah dan Rohigya ? Saya berharap yang terakhir telah dijalankan oleh pemerintah kita saat ini, meski baru akan terbuka beberapa puluh tahun lagi.

Sumber : Info Dunia Militer

Kamis, 04 Oktober 2012

Potret Islam Di Museum Kita











Wajah orangtua itu bersungguh-sungguh. Mimik mukanya sangat serius. Ada sedikit kesedihan terpancar di kedua matanya. Bibirnya bergetar. “Negara ini sangat zalim dalam merekam perjalanan sejarah bangsanya sendiri, ” ujarnya.

Orangtua itu melanjutkan ceritanya. Dia bilang jika reformasi telah gagal di banyak bidang. Salah satunya, yang paling nyata, adalah di bidang penulisan sejarah bangsa.“Bagaimana generasi muda bangsa ini bisa bercermin pada sejarah bangsanya, bila yang ditemukan atau dikisahkan kepada mereka adalah kebohongan demi kebohongan. ”

Orangtua itu adalah Letnan Jenderal (Purn) Zaini Azhar Maulani atau yang biasa ditulis dengan ZA. Maulani saja. Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) di era Presiden Habibie itu tengah berdiskusi dengan segelintir anak muda di suatu daerah di Jakarta, pertengahan 2002.

Menurut lelaki kelahiran Marabahan, sebuah kota kecil di Kalimantan Selatan, tahun 1939, penulisan sejarah bangsa Indonesia telah banyak menyimpang dari fakta yang sesungguhnya terjadi. “Siapa pun tak kan bisa menolak fakta bahwa perjuangan umat Islam-lah yang menjadikan negara ini merdeka dan mampu mempertahankannya. Semangat jihad-lah yang membuat bangsa dan negara ini kuat menghadapi berbagai gempuran para musuhnya. Tapi apakah hal ini ditulis dengan benar dan apa adanya dalam sejarah kita? Sama sekali tidak!” tegasnya.

Jenderal yang sangat bersahaya ini melanjutkan, “Jika tidak percaya dengan apa yang saya ucapkan ini, silakan Anda semua pergi ke museum. Lihat apa yang ditulis di dalam museum-museum kita tentang perjalanan sejarah bangsa ini. Apa yang mereka tulis tentang umat Islam Indonesia dan perjuangannya?”

Pernyataan akhir dari lelaki tegar ini sungguh menyesakkan dada. “Museum-museum kita menuliskan bahwa umat Islam Indonesia tidak lebih sebagai para pemberontak. Ada DI/TII dan NII Kartosuwiryo, Daud Beureueh, Kahar Muzakar, Gerombolan Imron ‘Woyla’, peledakan Borobudur, dan sebagainya. Umat Islam Indonesia dilukiskan sebagai teroris. Tidak lebih. ”

Saya, salah satu anak muda yang ikut dalam acara diskusi malam itu, pulang dengan berjuta pertanyaan di kepala. Setelah pertemuan itu, setiap saya berkesempatan mengunjungi museum, pernyataan Pak Maulani kembali terngiang di kepala. Menurut saya, Museum ABRI Satria Mandala yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, bisa merepresentasikan dengan baik apa yang dikatakan Pak Maulani. Karena di museum yang menempati lokasi bekas rumah pribadi Ratna Sari Dewi, salah satu isteri Presiden Soekarno ini, memang disengaja untuk memotret perjalanan sejarah bangsa ini sejak kemerdekaan tahun 1945 hingga masa Orde Baru.

Satria Mandala


Sejak awal Orde Baru hingga sekarang, Museum ABRI Satria Mandala merupakan satu-satunya museum yang dianggap terlengkap memotret perjalanan sejarah rakyat dan TNI di dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Ada istilah ‘dianggap’ karena secara kuantitas maupun kualitas, museum ini pun sesungguhnya tidak representatif dijadikan pedoman bagi bangsa ini di dalam menelusuri jejak sejarahnya.

Begitu memasuki ruang pertama museum ini, kita akan disuguhkan dengan sejumlah panji-panji angkatan. Lalu ada ruang diorama yang diawali dengan penggambaran pembacaan teks proklamasi yang dilakukan Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Jakarta, 17 Agustus 1945. Diikuti dengan diorama lainnya dan diakhiri dengan peristiwa Pertempuran Surabaya, 10 November 1945, yang begitu heroik dan oleh pemerintah RI diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Tidak ada satu pun kalimat yang menyinggung peranan umat Islam di dalam deret diorama pertama ini. Padahal, ini salah satu contoh saja, pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dicetuskan oleh Deklarasi Jihad para ulama se-Jawa pada bulan Oktober 1945 untuk bertekad mengusir penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Peranan Bung Tomo yang membakar semangat arek-arek Suroboyo dengan pidato jihadnya di depan corong RRI Surabaya, dengan berkali-kali memekikkan takbir “Allahu Akbar” hingga bergema di angkasa Kota Pahlawan itu juga sama sekali tidak disinggung. Padahal nyaris seluruh arek-arek Suroboyo rela berkorban jiwa dan raga karena semata-mata didasari adanya semangat jihad fi sabilillah, bukan semangat lainnya.

Dan ini bukan satu-satunya. Diorama lainnya yang juga secara hambar menggambarkan sejarah perjuangan umat Islam Indonesia adalah diorama tentang Palagan Ambarawa, 15 Desember 1945. Di dalam plat kuning yang berisikan informasi secara garis besar tentang Palagan Ambarawa, tidak ada sedikit pun yang menyinggung tentang peranan para Kiai dan Pasukan Santri yang sesungguhnya merupakan pasukan inti pemukul kekuatan pasukan Inggris, wakil dari pasukan Sekutu, yang baru saja mabuk kemenangan di dalam Perang Dunia II.

Sejarawan Islam dari Bandung, Ahmad Mansyur Suryanegara, mengisahkan, “Sejarah kita tidak menuliskan dengan benar soal Palagan Ambarawa. Padahal momentum itu merupakan momentum yang sangat penting, karena ketika itulah pasukan santri yang dipimpin para kiai berhasil memukul mundur pasukan Inggris yang merupakan pasukan pemenang Perang Dunia II. Pasukan santri ini juga berhasil merebut sejumlah benteng peninggalan Belanda dan membuat Sekutu yang dipimpin Mayjen Hawthron, Panglima Divisi India ke-23, pontang-panting melarikan diri menuju kapal-kapal perang mereka yang bersandar di pelabuhan Semarang. ”

Sebuah buku berjudul “Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya” melukiskan suasana pertempuran saat itu:“Ambarawa memerah bagain lautan api. Sambil terus mundur, musuh membakari rumah-rumah penduduk. Pasukan Sekutu terus dilabrak pasukan kita sampai lari keluar kota…. ”
Kedahsyatan Pertempuran Ambarawa ini kemudian oleh TNI Angkatan Darat dijadikan sebagai Hari Infanteri. Sebuah hari kebangaan dari korps yang dikenal di dunia sebagai The Queen of the Battle, Ratu Medan Tempur, yang memiki makna sebagai penentu kemenangan dalam setiap pertempuran. Kemenangan di Ambarawa-lah yang kemudian menaikkan tokoh religius Soedirman, mantan ustadz Muhammadiyah, sebagai Panglima Tentara Republik Indonesia (TRI). Sejumlah tokoh juga naik namanya berkat Ambarawa yakni Ahmad Yani, Pranoto, dan Soeryosoempeno.

Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris yang menulis: “The battle of Ambarawa had been a fierce struggle between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand, Indian soldiers, assisted by a Japanese company….” Yang juga ditambahi dengan kalimat, “The British had bombed Ungaran intensively to open the road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from where the fighting spirit was sustained…”

Sayang beribu sayang, oleh sejarah resmi yang beredar sekarang, Palagan Ambarawa dianggap sebagai kesuksesan tentara semata, menghapus peran ribuan laskar santri dan para kiai yang sesunguhnyalah berperan besar dalam pertempuran ini. Monumen dan Museum Palagan Ambarawa saja yang didirikan di kota yang berhawa sejuk itu, 35 kilometer selatan Semarang, pada tahun 1973-1974 juga tidak menyinggung fakta sejarah ini.

Dalam tulisan kedua, kita akan menengok Museum Waspada Purba Wisesa, sebuah gedung bertingkat yang masih terletak di areal Museum ABRI Satria Mandala. Di Museum ini, umat Islam Indonesia digambarkan tidak lebih dari seorang teroris. Diorama pertama saja sudah menggambarkan penghilangan tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, yang digambarkan dengan penuh kesyukuran. Padahal, peristiwa ini tidak lebih sebagai bentuk pengkhianatan. Tidak lebih. (/Rizki Ridyasmara/eramuslim)



Galery Museum Satria Mandala


Setelah ‘menengok’ Museum ABRI Satria Mandala, kita akan mengunjungi Museum Waspada Purba Wisesa,sebuah museum kecil yang menempati dua lantai dari sebuah gedung berlantai lima yang masih berada di dalam areal Museum ABRI Satria Mandala.

Museum ini, sesuai dengan namanya, merupakan sebuah ‘situs peringatan’ kepada bangsa ini agar tidak melupakan aneka pemberontakan terhadap negara. Terdiri dari puluhan diorama yang menggambarkan hal tersebut.

Dalam satu artikel yang dimuat Harian Sinar Harapan (2003) berjudul “Museum TNI dan Polri, Obyek Wisata Pemerintah”, museum ini dikatakan sebagai, “Isinya berupa fakta sejarah tentang gerombolan pengacau dan juga gambaran bangsa Indonesia yang Pancasilais. Meskipun berkesan propaganda dari Pemerintah Orde Baru, namun buat informasi sejarah masih layak digunakan. ”

Siapa yang dimaksud dengan istilah ‘Gerombolan Pengacau’? Pertanyaan ini seakan dijawab dengan deretan diorama yang ada. Begitu kita memasuki pintu utama, diorama yang pertama menampilkan peristiwa dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945. Secara atraktif, bahkan norak, dengan memakai lampu sorot yang berkedip-kedip berwarna merah, terdapat tulisan, “…dengan kewadjiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja. ”—yang kemudian diberi tanda silang.

Hal ini seolah mengatakan bahwa dihapusnya tujuh buah kata tersebut merupakan sebuah kemenangan bagi bangsa Indonesia, yang berhasil menghapuskan Islam dari nafas legal-formal kenegaraan dan kebangsaan, sehinga Republik Indonesia berdiri di atas dasar sekularisme.

“Padahal, dihapuskannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945 itu merupakan sebuah pengkhianatan founding fathers kita terhadap cita-cita kemerdekaan, yang direbut dan dipertahankan dengan susah-payah, dengan perjuangan di bawah gemuruh takbir Allahu Akbar dan semangat jihad fisabilillah!” tegas KH. Firdaus AN.

Peristiwa pengkhianatan para founding fathers negara ini terhadap amanah rakyatnya sendiri digambarkan dengan begitu jumawa dan tanpa perasaan malu sedikitpun. Diorama ini nyata-nyata telah menafikkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dilakukan umat Islam. Padahal, tanpa perjuangan umat Islam, tak kan pernah ada sebuah negara bernama Republik Indonesia.

Diorama-diorama selanjutnya berisi aneka peristiwa pemberontakan yang kebetulan dilakukan atas nama Islam seperti Komando Jihad dengan peristiwa Woyla, DI/TII, Kahar Muzakar, Daud Beureueh, peledakan Candi Borobudur, pemberontakan Yon 427 yang terdiri dari mantan Laskar Sabilillah dan Hisbullah, dan sebagainya.

“Di museum-museum kita, perjuangan umat Islam Indonesia dihapuskan begitu saja, sama sekali tidak pernah dianggap ada. Jika pun ada maka hal itu hanya terkait dengan peristiwa pemberontakan atau terorisme. Ini yang harus diubah, ” papar ZA. Maulani.

Resolusi Jihad para ulama yang kemudian meletus menjadi peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Palagan Ambarawa yang dipimpin oleh ribuan laskar santri di bawah komando para ulama, tingginya religiusitas seorang Jenderal Soedirman yang setiap pidato dan surat-suratnya senantiasa diawali dengan takbir Allahu Akbar dan sarat mengutip ayat-ayat jihad dari Al-Qur’an, dan sebagainya, semua itu dihapuskan dari catatan sejarah negeri ini.

Seolah-olah Indonesia bisa merebut kemerdekaan dan mempertahankannya dari gempuran pasukan Sekutu pemenang Perang Dunia II hanya berbekal bambu runcing dan kalimat ‘Merdeka atau Mati’! Hal ini sangatlah naïf.

Mudah-mudahan, seiring dengan berjalannya waktu, penulisan sejarah kita bisa diluruskan dan diperbaiki. Hitam katakan hitam, dan putih katakan putih. Jangan seperti sekarang, di mana banyak koruptor malah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, dan banyak para pahlawan yang sesungguhnya dimakamkan di areal pemakaman umum. Itu pun banyak yang kemudian digusur karena ahli warisnya tidak sanggup membayar pajak dan retribusi makam.

Letnan Jenderal (Purn) ZA. Maulani wafat pada hari Selasa, 5 April 2005. Namun keinginannya, meluruskan sejarah tentang perjuangan umat Islam Indonesia, semoga dilanjutkan generasi muda bangsa ini. Amien. (Rz/Tamat/eramuslim)

Rabu, 03 Oktober 2012

Sikap PBNU terhadap PKI

















Gus Dur tidak pernah minta maaf kepada PKI soal tragedi 1965


Reporter: Baiquni

Selasa, 2 Oktober 2012 02:29:00

Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU, Andi Najmi Fuaidi membantah fakta mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah meminta maaf kepada korban tragedi 1965 dari pihak PKI. Menurutnya, Gus Dur hanya mengusulkan adanya forum rekonsiliasi.

"Gus Dur tidak pernah meminta maaf. Gus Dur hanya mengusulkan bagaimana ada permintaan saling memaafkan dari kedua belah pihak," ujar Andi kepada wartawan di sela acara tahlil dan doa bersama untuk ulama dan santri korban PKI di Gedung PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Senin (1/10).

Andi mengatakan, Gus Dur memang pernah bertemu dengan tokoh PKI untuk membicarakan persoalan rekonsiliasi. Waktu itu, Gus Dur bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer yang meminta negara meminta maaf atas pembantaian terhadap PKI.

"Waktu itu, Gus Dur mengiyakan permintaan Pramoedya dengan syarat PKI harus meminta maaf terlebih dulu," tutur Andi.

Andi juga menyatakan, NU tidak akan meminta maaf kepada PKI. Dia bersikeras NU merupakan korban dari PKI.

"Jika ulama didesak untuk meminta maaf, itu tidak akan terjadi. Kami tidak akan meminta maaf karena NU juga korban," tegas dia.


PBNU: Justru santri yang jadi korban PKI


Reporter: Baiquni

Senin, 1 Oktober 2012 19:59:57

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar tahlil memperingati meninggalnya para santri akibat kekejaman PKI dalam rentang waktu 1948 hingga 1965. Acara ini sekaligus pernyataan sikap PBNU meluruskan sejarah yang dinilai telah melenceng.

"NU saat ini sedang menghadapi fitnah luar biasa. Kita dianggap pelaku kejahatan 1965, padahal kita adalah korban," ujar Wakil Ketua Umum PBNU, KH As'ad Said Ali, membuka acara tahlil dan doa bersama di Gedung PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Senin (1/10).

As'ad mengatakan, selama 1948 hingga 1965 banyak santri terbunuh. Tetapi, menurutnya, fakta itu ditutupi dengan menyatakan konflik yang terjadi hanya manuver yang dilakukan TNI.

"Para penulis sejarah termakan oleh manipulasi buku putih yang dibuat Aidit. Tetapi, rakyat, ulama dan santri sebagai korban tetap mencatat dalam sejarahnya sendiri," kata As'ad.

Selanjutnya, kata As'ad, NU merasa perlu meluruskan sejarah yang telah menyimpang. Selain itu, As'ad juga menegaskan NU tidak akan meminta maaf atas terjadinya tragedi 1965.

"NU mau memaafkan PKI sejauh mereka meminta maaf. Bukan permintaan maaf sepihak seperti mereka tuntut, karena justru kesalahan ada pada mereka dengan melakukan agitasi serta teror bahkan pembantaian," pungkas As'ad.

Sumber : Merdeka

Sabtu, 29 September 2012

Si Pitung










HARI-HARI AKHIR SI PITUNG


Betawi Oktober 1893. Rakyat Betawi di kampung-kampung tengah berkabung. Dari mulut ke mulut mereka mendengar si Pitung atau Bang Pitung meninggal dunia, setelah tertembak dalam pertarungan tidak seimbang dengan kompeni. Bagi warga Betawi, kematian si Pitung merupakan duka mendalam. Karena ia membela rakyat kecil yang mengalami penindasan pada masa penjajahan Belanda. Sebaliknya, bagi kompeni sebutan untuk pemerintah kolonial Belanda pada masa itu, dia dilukiskan sebagai penjahat, pengacau, perampok, dan entah apa lagi.
Jagoan kelahiran Rawa Belong, Jakarta Barat, ini telah membuat repot pemerintah kolonial di Batavia, termasuk gubernur jenderal. Karena Bang Pitung merupakan potensi ancaman keamanan dan ketertiban hingga berbagai macam strategi dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk menangkapnya hidup atau mati. Pokoknya Pitung ditetapkan sebagai orang yang kudu dicari dengan status penjahat kelas wahid di Betawi.
Bagaimana Belanda tidak gelisah, dalam melakukan aksinya membela rakyat kecil Bang Pitung berdiri di barisan depan. Kala itu Belanda memberlakukan kerja paksa terhadap pribumi termasuk ‘turun tikus’. Dalam gerakan ini rakyat dikerahkan membasmi tikus di sawah-sawah disamping belasan kerja paksa lainnya. Belum lagi blasting (pajak) yang sangat memberatkan petani oleh para tuan tanah.
Si Pitung, yang sudah bertahun-tahun menjadi incaran Belanda, berdasarkan cerita rakyat, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh schout van Hinne dalam suatu penggerebekan karena ada yang mengkhianati dengan memberi tahu tempat persembunyiannya. Ia ditembak dengan peluru emas oleh schout (setara Kapolres) van Hinne karena dikabarkan kebal dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap Bang Pitung, sampai tempat ia dimakamkan dirahasiakan. Takut jago silat yang menjadi idola rakyat kecil ini akan menjadi pujaan.
Si Pitung, berdasarkan cerita rakyat (folklore) yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil belajar mengaji di langgar (mushala) di kampung Rawa Belong. Dia, menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’. Dia juga ‘terang hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai mampu membaca (tilawat) Alquran. Selain belajar agama, dengan H Naipin, Pitung –seperti warga Betawi lainnya–, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga guru tarekat dan ahli maen pukulan.
Suatu ketika di usia remaja –sekitar 16-17 tahun, oleh ayahnya Pitung disuruh menjual kambing ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari kediamannya di Rawa Belong dia membawa lima ekor kambing naik gerobak. Ketika dagangannya habis dan hendak pulang, Pitung dibegal oleh beberapa penjahat pasar. Mulai saat itu, dia tidak berani pulang ke rumah. Dia tidur di langgar dan kadang-kadang di kediaman gurunya H Naipan. Ini sesuai dengan tekadnya tidak akan pulang sebelum berhasil menemukan hasil jualan kambing. Dia merasa bersalah kepada orangtuanya. Dengan tekadnya itu, dia makin memperdalam ilmu maen pukulan dan ilmu tarekat. Ilmu pukulannya bernama aliran syahbandar. Kemudian Pitung melakukan meditasi alias tapa dengan tahapan berpuasa 40 hari. Kemudian melakukan ngumbara atau perjalanan guna menguji ilmunya. Ngumbara dilakukan ke tempat-tempat yang ‘menyeramkan’ yang pasti akan berhadapan dengan begal.
Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajari Bang Pitung disebut Rawa Rontek. Gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Bang Pitung dapat menyerap energi lawan-lawannya. Seolah-olah lawan-lawannya itu tidak melihat keberadaan Bang Pitung. Karena itu dia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Menurut cerita rakyat, dengan ilmu kesaktian rawa rontek-nya itu, Bang Pitung tidak boleh menikah. Karena sampai hayatnya ketika ia tewas dalam menjelang usia 40 tahun Pitung masih tetap bujangan.
Si Pitung yang mendapat sebutan ‘Robinhood’ Betawi, sekalipun tidak sama dengan ‘Robinhood’ si jago panah dari hutan Sherwood, Inggris. Akan tetapi, setidaknya keduanya memiliki sifat yang sama: Selalu ingin membantu rakyat tertindas. Meskipun dari hasil rampokan terhadap kompeni dan para tuan tanah yang menindas rakyat kecil.
Sejauh ini, tokoh legendaris si Pitung dilukiskan sebagai pahlawan yang gagah. Pemuda bertubuh kuat dan keren, sehingga menimbulkan rasa sungkan setiap orang yang berhadapan dengannya. Dalam film Si Pitung yang diperankan oleh Dicky Zulkarnaen, ia juga dilukiskan sebagai pemuda yang gagah dan bertubuh kekar. Tapi, menurut Tanu Trh dalam ‘Intisari’ melukiskan berdasarkan penuturan ibunya dari cerita kakeknya, Pitung tidak sebesar dan segagah itu. ”Perawakannya kecil. Tampang si Pitung sama sekali tidak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya kehitam-hitaman, dengan ciri yang khas sepasang cambang panjang tipis, dengan ujung melingkar ke depan.”
Menurut Tanu Trh, ketika berkunjung ke rumah kakeknya berdasarkan penuturan ibunya, Pitung pernah digerebek oleh schout van Hinne. Setelah seluruh isi rumah diperiksa ternyata petinggi polisi Belanda ini tidak menemukan si Pitung. Setelah van Hinne pergi, barulah si Pitung secara tiba-tiba muncul setelah bersembunyi di dapur. Karena belasan kali berhasil meloloskan diri dari incaran Belanda, tidak heran kalau si Pitung diyakini banyak orang memiliki ilmu menghilang. ”Yang pasti,” kata ibu, seperti dituturkan Tanu Trh, ”dengan tubuhnya yang kecil Pitung sangat pandai menyembunyikan diri dan bisa menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang-orang lain.” Sedang kalau ia dapat membuat dirinya tidak tampak di mata orang, ada yang meyakini karena ia memiliki kesaksian ‘ilmu rontek’. (Alwi Shahab)

MELACAK SI PITUNG

Siapa yang tidak mengenal Si Pitung, sebuah nama yang kerap menjadi fenomena tidak hanya di kalangan sejarawan namun juga di jagad persilatan. Pro dan kontra akan keberadaannya menjadi polemik yang patut dikemukakan, apakah tokoh yang satu ini memang benar adanya atau hanya dongengan pengantar anak-anak menjelang tidur semata?.

Dari beberapa cerita epos rakyat Betawi, hanya tokoh dengan nama Si Pitung lah yang masih diselimuti oleh misteri, baik riwayat asal usul dan keluarga, motivasi perlawanannya terahadap tuan tanah dan kompeni Belanda, sampai ke satu hal yang paling dipergunjingkan di kalangan persilatan, yaitu aliran silat Betawi macam apa yang dimilikinya.

Beberapa penulisan telah dilakukan, baik dari dalam maupun dari negeri Belanda sendiri. Tercatat data-data yang ada mengenai hal ini belum begitu bisa menjawab kemisteriusan legenda Si Pitung.

Bahan disertasi dan catatan ringkas buku cerita rakyat, umumnya mengutarakan tentang sepak terjang Pitung sebagai pahlawan bagi rakyat jelata. Tidak ada satupun dokumentasi yang menyatakan tentang pribadinya secara kongkrit, asal muasal ataupun kepiawaiannya dalam bermain ilmu silat.

Terbatasnya sumber tulisan tentang dirinya tidak menyurutkan pelacakan, sumber-sumber terkait termasuk keturunan ahli waris, cerita orang-orang tua, dan peninggalan berupa makam menjadi objek penelitian utama. Disamping masih menggunakan data-data yang sudah ada, tidak menutup kemungkinan pelacakan juga melibatkan kontemplasi dan masukan dari para sesepuh dan pakar yang berkecimpung di dunia silat dan kebatinan.

RANCAG LENONG

Cap “Maling yang Budiman” atau “Robin Hood nya Betawi” banyak diberikan kepada sosok yang satu ini, terutama dari rancag atau cerita masyarakat Betawi yang diangkat ke dalam seni panggung lenong.

Si Pitung faktanya telah mengambil hati masyarakat kecil Betawi, simbol perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda yang mengakomodir kepentingan tuan tanah untuk memeras rakyat.

Sepak terjangnya dianggap sebagai kepanjangan tangan rakyat yang tertindas, meskipun jalan yang ditempuh jelas-jelas bertentangan dengan norma agama dan hukum Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat Betawi.

Setiap pertunjukan lenong yang marak di awal tahun tujuh puluhan, memposisikan Si Pitung sebagai pemuda super hero yang taat beragama, sosok pendekar pembela kebenaran yang tiada tanding, sakti mandraguna, selalu unggul dalam setiap perkelahian yang menggunakan teknik ilmu silat.

Rancag lenong seringkali menceritakan tentang kelihaian Si Pitung dalam menghadapi kejaran polisi Belanda, karena mempunyai ilmu halimun atau menghilang setiap kali terkepung.
Versi lain menceritakan ketika berhasil ditembak dengan peluru emas, mayat Si Pitung dimutilasi dan dikuburkan secara terpisah karena memiliki ajian Rawe Rontek. Sekalipun demikian masih dapat hidup kembali dan membantu perjuangan menghadapi tentara Jepang di zaman revolusi fisik.
Rancag Lenong tanpa disadari telah menina bobokan sebagian besar masyarakat Betawi, yang pada dekade awal tujuh puluhan memerlukan simbol kepahlawanan sebagai pembangun spirit masyarakat natif Jakarta yang terpinggirkan, baik oleh para pendatang maupun pemerintah kala itu (Ridwan Saidi, Eksistensi Melayu Betawi-2).

APA & SIAPA SI PITUNG


Nama Pitung merupakan nama yang absurd. Hal ini jelas tertera dari berita harian berbahasa Melayu, Hindia Olanda edisi ke 26 Juni tahun 1882 yang menyebutnya bervariasi. Ada Bitoeng, Pitang dan akhirnya Pitung.

Sejatinya pitung merupakan ungkapan bahasa Jawa Cirebon-Banten yang kala itu setelah abad ke 17 menjadi etnis yang eksodus besar (seabagai tenaga penggali kanal Molenvliet – Abdul Hakim, Jakarta Tempo Doeloe) di Batavia, yaitu “pitung-an”, arti harfiahnya bertujuh. Kemudian kata ini berkembang menjadi “Pituan Pitulung”, yang jika diterjemahkan secara bebas bermakna sebagai kelompok dengan tujuh orang yang saling bahu membahu dalam aksi perlawanan terhadap tuan tanah, dengan cara merampok dan menguras harta benda yang didapat dari hasil memeras rakyat kecil. Pada awalnya hasil rampokan dibagikan kepada masyarakat kecil yang membutuhkan, namun kemudian terjadi perselisihan yang akhirnya misi mulia ini dikesampingkan. Menurut harian berbahasa Belanda Lokomotief bahwa keterangan kelompok ini membagi-bagikan hasil rampokannya kepada masyarakat kecil tidak benar.

Ketujuh orang atau Pitung ini adalah : 
1.diketuai oleh Salihun yang tinggal dil Kemandoran Rawa Belong,
2.dan Ji’i (Saroji) paman nya Salihun yang juga sebagai ketua dan tinggal dil Kemandoran Rawa Belong,
3.Abdulrahman pemuda tanggung peranakan Arab asal Krekot, 
4.Daeng Merais Jawara Legoa berdarah Bugis, 
5.Mat Jebul yang sebelum bergabung adalah seorang Merbot di Cawang, 
6.dan Tocang Gering bekas kuli panggul Pasar Ikan yang peranakan Tionghoa Kampung Dadap, Tangerang, 
7.serta yang paling terakhir bergabung, Mujeran anak Depok murid H. Majid seorang pribumi kaya yang juga guru silat Ji’i. H. Majid adalah teman santri H. Naipin sewaktu mondok di Pesantren daerah Menes Banten.

Dalam setiap aksinya baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, selalu menggunakan nama “Pitung”. Namun ditenggarai bahwa yang selama ini dianggap sebagai sosok si Pitung adalah yang bernama Salihun. Nama ini ditemukan dalam surat Berita Acara Pemerikasaan (BAP) ketika dirinya bersama Ji’i pertama kali tertangkap dan mendekam di penjara Cipinang. Dengan tanda tangan berbentuk silang kecil, yang menandakan bahwa Salihun ini seorang yang buta huruf (Margreet Van Till, The Search of Si Pitung, History of The Indonesian Legend).

Karena kelihaiannya Salihun dan Ji’I berhasil melarikan diri dengan cara memanjat tembok penjara dengan beliung. Diperkirakan beliung ini telah dipersiapkan kawanan penjahat anak buah Rais yang telah lebih dulu mendekam di Cipinang. Beliung ini pada akhirnya menjadi senjata andalan Salihun untuk melakukan aksi perampokan selanjutnya.

Salihun diperkirakan dilahirkan di Pengumben, Sukabumi Ilir, masuk wilayah Rawa Belong pada tahun 1864. Tanu Trh dalam majalah Intisari pernah menggambarkan tentang sosok Pitung secara terperinci, berperawakan kecil namun kekar, dengan tinggi sekitar 155-157cm, berambut ikal dengan cambang tipis melingkar ke depan pipinya.

Ayahnya yang berdarah Cikoneng, Banten bernama Pi’un dan ibu bernama Nok Pinah yang berdarah Cirebon. Dari garis keturunan ayah ke atas bermuara pada sebuah nama Ki Aria Surawinata, seorang pejabat pemerintahan Kesultanan Banten setingkat Bupati di daerah Sampora, yang kemudian hari oleh Belanda dibujuk dan diangkat menjadi seorang Letnan di daerah Luar Batang Batavia.

Profesi Bang Pi’un adalah sebagai pengunduh (berkeliling kampung mencari ladang buah, dibeli dan diperam untuk kemudian dijual di pasar). Pada masa itu profesi pengunduh ini termasuk dalam kategori kalangan cukup lumayan untuk ukuran orang kampung.

Ji’i yang menjadi sahabat karibnya, menurut budayawan Betawi (alm) SM Ardan tidak lain adalah adik dari Nok Pinah ibu Salihun yang berdarah Cirebon. Disertasi Margreet Van Till hal:14 menyebutkan ketika Ji’i lepas dari tangkapan Demang Kebayoran, dia melarikan diri ke Singapura dan dari data ini disinyalir terdapat sindikat internasional dalam sepak terjangnya (Java-Bode 15-8-1893:2.).

Padahal Negara Singapura di abad 19 belum dikenal, pada waktu itu Negara Singapura masih bernama Tumasik. Nama Singapura yang dimaksud disini kemungkinan nama sebuah desa asal Ji’i dan Nok Pinah, yaitu 5 km sebelah utara Cirebon, sekarang masuk kecamatan Celancang, Cirebon Utara. Dalam kesempatan lain, penulis pernah menemukan seseorang yang mengklaim masih keturunan Saroji (Ji’i) di daerah Bedulan Cirebon Utara (wallahu’alam).

Sedikit gambaran tentang desa Singapura di Cirebon. Desa Singapura di masa kerajaan Sunda Galuh adalah sebuah pelabuhan ramai dengan Ki Gedheng Alang Alang sebagai Syahbandarnya, yang kemudian hari wilayah Singapura, Muara Jati, Cerbon Girang, dan Cerbon Larang menjadi satu kesatuan wilayah Caruban Nagari dengan Kian Santang atau Ki Samadullah/Haji Abdullah Iman/Cakrabuana/Kuwu Cerbon sebagai penguasanya.

PITUNG & PENCAK SILAT


Salihun pertama kali mengenal maenpukulan atau Pencak Silat dari ayahnya yang menguasai Jingkrik/Cingkrik, Cingkrik dikenal secara luas sebagai maenpukulannya orang Rawa Belong. Perihal siapa gurunya Bang Pi’un tidak diketahui dengan jelas.

Oleh ayahnya, Salihun dititipkan untuk belajar agama di Kampung Rawa Bebek kepada Haji Naipin yang berasal dari Menes, Banten. Kecendrungan untuk mempercayakan orang sekampung (Kulon) sebagai guru Salihun menjadi pertimbangan utama buat Bang Pi’un.

Guru agama di Betawi zaman dulu juga mempunyai keahlian dalam ilmu silat. Dari Haji Naipin selain mendapat pelajaran agama, Salihun juga belajar silat Cimande-Sera’.

Merasa telah cukup membekali ilmu agama dan silat, Haji Naipin menitipkan Salihun kepada seorang guru tarekat di Pecenongan yang bernama Sapirin bin Usman bin Fadli atau yang terkenal dengan sebutan Guru Cit (singkatan Guru Mursyid). Dari Guru Cit, Salihun mendapatkan pelajaran tarekat.

Perkenalan Salihun dengan Daeng Merais (Rais) yang jawara Legoa asal Bugis, terjadi ketika hasil jualan milik ayahnya di pasar Tenabang dicuri Rais dan kawan-kawan. Salihun yang dibantu Ji’i berhasil menaklukan gerombolan ini, sehingga terjadi kesepakatan diantaranya untuk menjalin persekongkolan.

Pertemuan inilah yang membuka jalan ke dunia kriminal Salihun dan Ji’i sehingga terkenal dengan Si Kelompok Tujuh atau “Si Pitung”.

Salihun berhasil menggeser kedudukan Rais sebagai ketua Gang karena kepiawaiannya bermain silat dan siasat. Hal ini dibuktikan dengan pemakaian cukin di pundak Salihun, yang pada masa itu penggunaan cukin di pundak merupakan simbol jawara atau jago silat yang telah teruji. Penggunaan cukin pada jawara Betawi disinyalir sebagai bentuk pengaruh kebudayaan Cina Selatan, dimana setiap pendekar Kuntao selalu menggunakannya.

Cukin berasal dari bahasa Hakka: chiu-kin, Chiu berarti gerah atau keadaan tidak nyaman dan Kin yang berarti kain. Disinyalir kata kain berasal dari kata kin ini. Pada masa kini pria Betawi cenderung menggunakan kain sarung sebagai pengganti cukin. Hal ini dimungkinkan sebagai bentuk metamorphosis kebudayaan Tionghoa ke dalam kebudayaan Betawi yang agamis.

Di kelompok Pitung ini terjadi sharing ilmu silat, Rais menularkan silat Sinding kepada Salihun. Dari Tocang Gering, Salihun dan Ji’i dikenalkan dengan permainan Kuntao dan senjata silat orang Cina, termasuk menggunakan senjata ledak tobangji (pistol).

Aksi kriminal pertama Salihun dan Ji’I sebagai gembong kelompok ini telah mengangkat namanya sebagai orang incaran polisi nomor satu di Batavia, dengan dihargainya kepala mereka berdua sebesar 400 gulden (Hindia Olanda 2-5-1893:2). Kompeni menganggap kelompok ini sangat berbahaya karena dalam setiap aksinya tidak memandang siapa target incaran orang-orang kaya pada waktu, baik pria, wanita, orang asing atau pribumipun menjadi korbannya. Alasan inilah yang digunakan polisi untuk memburu Salihun dan kawan-kawan.

Tercatat di harian Hindia Olanda, dua perampokan terbesar yang dilakukannya adalah perampokan rumah Haji Sapiuddin dan Nyonya De.C. Hal ini dibuktikan dengan digeledahnya rumah Salihun di Pengumben, dimana di dalam tanah rumahnya ditemukan sejumlah uang sebesar 125 Gulden, beberapa pakaian hitam dan peci yang digunakan kelompoknya dalam setiap melakukan aksi

Seorang tauke wanita bernama Mie di Kali Besar tak pelak menjadi korban perampokannya, darinya kelompok Pitung berhasil menggasak sejumlah kain sarung sehara ratusan gulden, pakaian pria, dan sepucuk revolver beserta pin dan 5 pelurunya (Hindia Olanda 22-11-1892:2). 

Ketika sepak terjang kelompok ini telah tercium oleh komandan polisi AWV Hinne, Salihun berusaha menghindar ke daerah pesisir Marunda. Baginya pesisir adalah daerah yang sangat strategis untuk dijadikan markas sekaligus sarana pelarian dengan menggunakan media laut.

Tercatat di daerah ini kelompok Pitung berhasil menguras tuan tanah asal Bugis Haji Sapiuddin lewat siasat perantara Rais yang telah diatur Salihun.

Tidak semua orang Betawi mendukung perbuatan kelompok Pitung ini, hasil wawancara Damardhini menyatakan lain dari umumnya :

“Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Sapiudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.” (Damardini 1993:14)

PESISIR PANTAI & KAKI GUNUNG SEBAGAI TEMPAT PELARIAN

Perjumpaanya dengan Isah, gadis asal Kali Baru mengantarkannya kepada Abdul Halim, ayah Isah yang terkenal sebagai guru silat aliran pesisir Syahbandar. Menurut Alwi Shahab, Salihun mendalami aliran silat Syahbandar ini. Kemungkinan ketika dalam persembunyiannya di Marunda, namun tidak sampai tamat karena kedudukannya telah tercium oleh kompeni yang berhasil meringkus kaki tangan Rais yang bernama Jeram Latip. Untuk meringankan hukumannya Jeram Latip bersedia dijadikan polisi partikelir yang menginformasikan keberadaan kelompok Pitung. Jeram Latip kemudian dibunuh Rais lewat pembantaian yang keji.

Kemanapun kelompok Pitung ini melarikan diri, selalu saja tercium kompeni. Modus operandi yang mengarahkan persembunyian pada pesisir laut dan kaki gunung telah tercium Van Hinne, dimana pesisir adalah tempat strategis untuk melarikan diri ke arah lautan, disamping dukungan nelayan Cirebon, Banten, Bugis dan Indramayu kepada kelompok ini.

Sedangkan kaki gunung merupakan gerbang ke arah rimba raya pegunungan, dimana hanya militer Belanda yang sedang sibuk dalam peperangan di Acehlah yang sanggup dan memiliki fasilitas ke arah itu. Sebut saja jalan menuju Depok yang kala itu masih diselimuti hutan belantara.

Salihun, Ji’i, Mat Jebul dan Mujeran sempat melarikan diri ke rumah Kong Haji Majid di Depok melalui sungai Ciliwung yang sebelumnya mampir di kampung halaman Mat Jebul di Cawang. Sementara Rais telah lebih dulu tertembak kompeni di atas perahu tatkala ingin melarikan diri lewat Marunda. Begitupun Abdulrahman yang tewas tertembak di daerah Bandengan .

Politik suap mulut kala itu bukan satu hal yang aneh lagi, hal ini terjadi manakala sepasukan polisi Belanda setingkat kompi yang dipimpin AW Van Hinne berhasil menangkap Ji’i untuk yang pertama kali namun kemudian berhasil melarikan diri ke kampung halamannya di desa Singapura, Cirebon. Keberhasilan penangkapan itu ditenggarai masyarakat atas jasa demang Kebayoran, hingga seminggu kemudian Salihun menembak mati Demang Kebayoran itu.

“Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan tempat sepi troes Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega”. (Hindia Olanda 1-9-1893:2)

Tiga bulan kemudian, tepatnya di 16 Oktober 1893 lewat agennya Van Hinne berhasil menemukan jejak Salihun di daerah Kampung (Kota) Bambu yang sekarang masuk ke wilayah Tomang. Ketika di buru ternyata Salihun telah beralih ke arah pemakaman di Tenabang, dengan bergegas Van Hinne pun mendahului kea rah Tenabang (Hindia Olanda 18-10-1893:2).

Di pemakaman Tenabang yang sepi Salihun telah dinanti Scout AW Van Hinne beserta beberapa agennya. Karena tidak mengenali sosok Salihun yang seperti anak kecil, Van Hinne menegurnya dengan menyebut “hei…anak kecil”, kemudian yang ditegur langsung membalikkan badan dan memberondongkan revolvernya.

Terjadi tembak menembak diantara keduanya, yang kemudian pada tembakan selanjutnya Van Hinne berhasil menembak lengan Salihun. Salihun masih tetap berdiri bahkan balas menembak. Pada sepertiga peluru dari magazine revolver Van Hinne yang dimuntahkan tepat mengenai dada Salihun, hingga tersungkur, namun masih bisa melarikan diri. Pada kesempatan itu agen polisi lain yang sedari tadi mengepung di tempat lain menyambutnya dengan berondongan peluru kearah bawah punggung yang menembus hingga ke dada. Salihun tidak berkutik hingga sekarat dan di bawa ke Rumah Sakit , namun Salihun hanya bertahan satu hari di rumah sakit. Dia meninggal pada tanggal 17 Oktober 1893 pada usia 29 tahun, dalam keadaan membujang. Beberapa sanak keluarga yang menjenguk Salihun berhasil diizinkan untuk mengambil mayatnya dari rumah sakit, yang sebelumnya tidak mendapatkan izin.

Tepat satu hari sesudah itu, Minggu 18 Oktober 1893 pukul lima sore jenazah Salihun dikebumikan di daerah Kampung Baru, sekarang masuk ke Kebon Jeruk tepatnya di Green Garden sekarang. Versi lain menyatakan jenasahnya dikebumikan di daerah Kampung (Kota) Bambu, Tumang (Tomang) tepatnya di Jl. Kemuning, Jakarta Barat.

Menurut surat kabar Lokomotief yang pro Belanda, menyatakan bahwa ketika dalam keadaan sekarat Salihun meminta towak sama ijs (tuak dan es), permintaan mengejutkan buat seorang muslim yang taat.

Di lain pihak berita ini dibantah oleh harian berbahasa Melayu (Hindia Olanda 18-10-1893:2) yang menyatakan bahwa bukan Salihun yang meminta, melainkan tuak itu sengaja disodorkan Van Hinne dan kemudian ditolak (dimuntahkan) Salihun. Harian ini juga menambahkan bahwa selang beberapa jam sebelum kematian Salihun yang ditenggarai sebagai Pitung, terlihat di Pasar Senen sedang mencukur rambutnya. Dari berita ini ingin menjelaskan kepada masyarakat yang terlanjur menganggapnya sakti, bahwa Salihun atau Si Pitung hanya manusia biasa yang kebal peluru bahkan dengan pisau cukur sekalipun.

Tercatat dalam terbitan surat kabar Hindia Olanda yang memberitakan sepak terjang Salihun, Ji’i dengan kelompok Pitungnya berlangsung selama 16 bulan, dari edisi 26 Juni 1892 hingga 19 Oktober 1893.

Karena jasa-jasa Scout AW Van Hinne memberantas gerombolan Si Pitung ini, dia mendapat medali “the Broeder van de Nederlandsche Leeuw” dari pemerintahnya. Kemudian tugasnya dipindahkan ke kantor kepolisian pusat Batavia yang sekarang menjadi kantor POLDA Metro Jaya.

Setelah padamnya perlawanan kelompok Si Pitung, sebagian masyarakat tetap pada keyakinan semula bahwa Si Pitung dapat hidup kembali. Umumnya keyakinan ini disampaikan lewat kesenian rakyat “Rancag Si Pitung” yang marak pada masa itu :

‘Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya.

Perjuangan melawan tuan tanah dengan cara merampok sepeninggalan kelompok “Si Pitung” ini pun tidak serta merta padam, polisi masih kian disibukan dengan orang-orang yang mengaku penerus Si Pitung, seperti si Ma’un dari kampung Fluit, Si Gantang yang memang ganteng, serta si Gondrong, Kesen.

KESIMPULAN


Bahwa nama “Si Pitung” bukan nama perorangan, melainkan nama kelompok yang terdiri dari tujuh orang dari asal kata Jawa Cirebon (pitung pitulungan). Kelompok ini tidak lain dari sebuah perkumpulan beberapa orang “jago” yang berasal dari kampung-kampung di Batavia. Sepak terjak yang merugikan tuan tanah sangat didukung masyarakat Betawi yang kala itu menjadi sapi perahan tuan tanah.

“Cerita dari mulut ke mulut” yang menyebutkan bahwa kelompok ini sering mendermakan hasil rampokannya (termasuk ke masjid Pekojan, Luar Batang dan Kampung Sawah) memang benar adanya, meskipun tidak ada bukti-bukti yang kuat.

Perihal aliran silat Betawi dari kelompok “Si Pitung” ini jelas lebih dari satu, dilihat dari jumlah orang yang terdiri dari tujuh orang Betawi (dua keturunan Banten-Cirebon, dua berdarah sunda, satu peranakan Arab, satu peranakan cina dan satu orang Bugis). Begitupun dengan makam “Si Pitung” yang lebih dari satu, yang menurut ceritanya dimutilasi lantaran memiliki ilmu Rawe Rontek. Padahal makam-makam itu merupakan makam para anggotanya yang dimakamkan berdasar daerahnya, atau paling tidak berdekatan dengan tempat tinggalnya.

Mengenai kesaktian kelompok “Si Pitung”, sebagaimana orang “jago zaman dahulu” pada umumnya sangat dimungkinkan adanya. Adapun kekebalan yang dapat ditembus dengan peluru hingga akhirnya menewaskan, merupakan suratan takdir dan kehendak Nya. Maut tidak akan bisa ditolak apabila sudah waktunya tiba, setinggi apapun ilmu kesaktiannya.

SEJARAH

Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu
1. versi Indonesia, 
2. versi Belanda, 
3. dan versi Cina. 

Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah Si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda. 

Cerita Si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian lengenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah Legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), sair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.

TEMPAT LAHIR

Si Pitung lahir di daerah Pengumben sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bung Piung dan ibunya bernama Mbak Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin (seorang pedagang kambing). Seperti yang dikisahkan dalam film Si Pitung (1970).

NAMA ASLI PITUNG

Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari Bahasa Jawa Pituan Pitulung (Kelompok Tujuh), kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen).

AWAL LEGENDA

Menurut versi van Till (1996) Si Pitung merupakan seorang kriminal, yang diawali ketika Si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang, kemudian dicuri oleh para “centeng” (Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah.Si pitung kembali pulang dengan tangan hampa, namun Si Pitung hanya tersenyum dan menjawab bahwa dia telah di rampok.

Ayah Pitung yang marah kemudian menyuruh Pitung pergi mencari uang tersebut dan akhirnya dapat menemukannya kembali.Namun, para pencuri alias "centeng" tersebut mengajak Si pitung untuk bergabung sebagai perampok dan menjadi ketua mereka.Pada awalnya Si pitung menolak , tetapi akhirnya Si pitung bergabung dengan mereka.

Legenda yang dikisahkan dalam film Si Pitung, Si Pitung dan Kawanan-nya menggunakan cara yang “pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si Pitung, Pitung sebagai "Demang Mester Cornelis (Wilayah Mester Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara merupakan bagian dari Kota Jakarta Timur") dan Dji-ih sebagai “Opas”). Kemudian melakukan penipuan dengan memberikan surat kepada Haji Saipudin agar Haji Saipudin menyimpan uang di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan Kelompoknya membawa lari uang tersebut.

Akibat dari hal ini kemudian Si Pitung dan Kawanannya menjadi buronan “kompenie”. Hal ini menarik perhatian komisaris polisi yang bernama Van Heyne (“Schout Van Heyne, atau Van Heijna, Scothena, atau “Tuan Sekotena”). Secara resmi menurut Van Till (1996) nama petugas polisi pada saat ini bernama A.W. Van Hinne yang pernah bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. (Menurut catatan kepolisis Belanda. 

Van Hinne memulai karier sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belanda, kemudian menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat di Indonesia. Van Hinne menderita sakit yang serius, sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan. Pada akhir tahun 1880 Van Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia (Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274)

Van Hinne segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan ka-Demangan Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu bebas dengan kekuatan “magis” tetapi menurut versi Film Si Pitung (1970), Si Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.

Kemudian Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si Pitung berupa “jimat” sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diragukan kebenarannya. 

Tetapi menurut Versi Film Si Pitung Banteng Betawi (1971) dikhianati oleh Somad yang memberi tahukan kelemahan Pitung untuk mengambil “jimatnya”. Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil “Jimat Keris”-nya sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut, dan juga versi lain mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena sesorang melemparkan telur. 

Akhirnya Pitung meninggal karena luka tembak Hinne (Berdasarkan versi Film Si Pitung, Pitung mati tertembak karena peluru emas). Sesudah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa Si Pitung akan bangkit dari kubur hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam Van Till (1996):


Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya

PITUNG ROBIN HOOD ALA BETAWI

Menurut Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):
Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. 
Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.'
Pitung menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996).Karmani menulis novel Si Pitung, novel ini dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali (1993).
'Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal' (Rahmat Ali 1993:7)
Beragam pro dan kontra banyak menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya bahwa tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh "Orang Betawi" terhadap penguasa pada saat itu yaitu Belanda. 
Apakah hal ini dipertanyakan valid atau tidaknya, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung di atas bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat itu.

KISAH NYATA SI PITUNG

Berdasarkan penelusuran van Till (1996) berdasarkan Hindia Olanda 22-11-1892 (Koran Terbitan Malaya (Malaysia pada saat ini)). Pada tahun 1892 Si Pitung dikenal pada sebagai “One Bitoeng”, “Pitang", kemudian menjadi “Si Pitoeng” (Hindia Olanda 28-6-1892:3; 26-8-1892:2). Laporan pertama dari surat kabar ini menunjukkan bahwa schout Tanah Abang mencari rumah “One Bitoeng” di Sukabumi. 
Dari hasil penemuannya ditemukan Jas Hitam, Seragam Polisi dan Topi, serta beberapa perlengkapan lainnya yang digunakan untuk mencuri kampung (Hindia Olanda, 28-6-1892:2). Sebulan kemudian polisi menggeledah rumahnya kembali dan ditemukan uang sebesar 125 gulden. Hal ini diduga uang curian dari Nyonya De C dan Haji Saipudin seorang Bugis dari Marunda (Hindia Olanda 10-8-1892:2;2; 26-8-1892:2). 
Kemudian Si Pitung menggunakan senjata untuk mencuri pada tanggal 30 Juli 1892, ketika itu Si Pitung dan lima kawanannya (Abdoelrachman, Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering) menerobos rumah Haji Saipudin dengan mengancam bahwa Haji Saipudin akan ditembak.
Pada tahun 1892 Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah adanya nasihat dari Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) untuk menangkap Si Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil.
Karena kejadian tersebut Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seseorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah "belincong (sejenis linggis pencungkil)” kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).
Akibatnya, Si Pitung lepas lagi. Berdasarkan rumor, Pitung pernah menampakkan diri ke seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Semakin sulitnya menemukan Si Pitung, menyebabkan harga untuk penangkapan Si Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden. 
Pemerintah Belanda pada saat itu ingin "menembak mati" di tempat , tetapi sebagian pejabat mengatakan jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.
Sebagai tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian secara kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga mencuri wanita pribumi, Mie dan termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C seorang pedagang wanita di Kali Besar menyatakan bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahu-nya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).
Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya, ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal. 
Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda 19-8-1893:2). 
Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh dari Batavia beberapa minggu kemudian.
“'Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan di tempat sepi troes, Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega.' (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)
Beberapa bulan kemudian, di Bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian dalam perajalanannya Hinne diberikan laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893), kemudian Hinne menembaknya dalan penyergapan itu. 
Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi, meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya yaitu hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore
Setelah Hinne menangkap Pitung setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar "Pitung"-"Pitung" yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.

KESAKTIAN & KEMATIAN SI PITUNG

Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen tersebut di atas. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2) sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu. Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang akibat jimat-nya diambil orang (Versi Film Si Pitung Banteng Betawi), tetapi yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat di-"lemahkan" jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hidia Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.

PEMAKAMAN SI PITUNG

Sesudah kematian Si Pitung, makamnya dikawal oleh tentara, karena beberapa masyarakat percaya dia akan bangkit dari kematian. Menurut Rancak Si Pitung dijelaskan bagaimana kondisi sesudah kematian Si Pitung.
"Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya."