Rabu, 10 Oktober 2012

Masjid HM Soeharto, Bosnia Herzegovina, Sarajevo

















Mesjid H.M Soeharto, mesjid terbesar dan
terpenting di Bosnia


Selain monumental, keberadaan mesjid itu menjadi simbol bagi solidaritas Muslim Indonesia terhadap perjuangan rakyat Bosnia yang menderita akibat perang. Pak Harto melakukan perjalanan bersejarah ke Bosnia yang sedang diamuk perang. Perjalanan ke Sarajevo, ibukota Bosnia Herzegofina, Maret 1995, memang penuh risiko. 
Namun tekad Pak Harto untuk berkunjung ke Bosnia sudah bulat. Perjalanannya ke Sarajevo setelah menghadiri KTT untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen, Denmark, dan kunjungan balasan ke Kroasia.


Dalam referendum Mei 1991, pasca berakhirnya kekuasaan komunis di negara-negara bekas Yugoslavia, Kroasia dan Bosnia, memutuskan menjadi negara yang merdeka. Indonesia telah membuka hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut. Di Bosnia, Pak Harto meresmikan Masjid M. Soeharto yang dibangun dengan dana bantuan pengusaha Indonesia, H. Probosutedjo.


Tahun 1995, kawasan bekas Yugoslavia ini dilanda perang saudara yang melibatkan pasukan Serbia-Kroasia dan Serbia-Bosnia. Kedua pihak mengerahkan pasukan dan persenjataan berat, termasuk serangan mortir dan artileri besar-besaran. Saat itu perang Balkan sedang menghangat.


Dalam penerbangan ini semua anggota rombongan sesuai ketentuan harus menggunakan rompi anti peluru dan menandatangani pernyataan menanggung segala risiko. Pak Harto melakukannya karena menyerahkan dirinya kepada kekuasaan Allah. Kekhawatiran bagi keamanan perjalanan Presiden RI ke Sarajevo, tidak saja ada di kalangan pejabat Indonesia tetapi juga para staf PBB di Zagreb.


Presiden Soeharto berada di Sarajevo sekitar dua jam dan mengadakan pembicaraan dengan Presiden Bosnia Alija Izetbegovic. Ketika itu, Alija sangat mengharapkan Pak Harto mengambil peranan aktif untuk mengatasi kemelut yang melanda negerinya.
Perjalanan yang penuh risiko ini dilakukan Pak Harto karena komitmennya yang kuat selaku Ketua GNB, agar bisa membantu terciptanya perdamaian di kawasan Balkan. Pak Harto berupaya keras menghentikan konflik bersenjata yang menewaskan rakyat sipil, khususnya pembantaian muslim Bosnia.


Pada awal Maret 1995, Soeharto, yang seperti biasa didampingi beberapa pembantu terdekatnya, seperti Mensesneg Moerdiono dan Menlu Ali Alatas mengadakan lawatan ke Eropa. Dalam agenda kunjungan itu, Soeharto juga akan ke Sarajewo, ibukota Bosnia, yang ketika itu menjadi kawasan perang yang brutal.


ABRI mengirimkan pasukan pendahulunya untuk menyiapkan kedatangan Soeharto beserta rombongan ke Bosnia, termasuk melakukan pendekatan kepada pemerintah Bosnia serta berbagai faksi yang sedang berseteru. Ketika rombongan Presiden RI tiba di Eropa, belum ada kepastian bisa tidaknya rombongan itu ke Bosnia. Dalam suasana belum pasti itu, sebuah pesawat milik PBB yang melintas di Bosnia ditembak jatuh pada 11 Maret 1995. 


Kejadian itu memberikan tekanan yang tinggi bagi rombongan Indonesia yang ingin ke Bosnia tersebut. Namun, Soeharto memutuskan tetap pergi ke medan tempur itu pada 13 Maret, atau dua hari setelah pesawat PBB ditembak jatuh. Persiapan pun terus dilaksanakan, mulai menyiapkan substansi pertemuan hingga persiapan pengamanan. 


Puluhan wartawan yang menjadi bagian rombongan kunjungan presiden pun berharap bisa ikut penerbangan "berani mati" ke kawasan yang ketika itu sedang diwarnai pertumpahan darah itu. Maka, mulai lah banyak rayuan yang disampaikan ke Moerdiono, penanggung jawab perjalanan, agar bisa masuk dalam daftar yang ikut ke Sarajevo, ibukota Bosnia. Upaya rayu-merayu itu berjalan alot, karena sudah dipastikan bahwa jumlah rombongan yang akan ikut Soeharto ke Bosnia itu sangat terbatas.


Akhirnya Moerdiono memutuskan bahwa hanya dua wartawan yang akan ikut terbang ke Bosnia, yakni dari LKBN ANTARA serta RRI. Alasan pemilihan itu akhirnya dapat diterima oleh puluhan wartawan lainnya. Dua wartawan itu kemudian mendapat tugas untuk membuat laporan kepada teman-teman wartawan yang tidak ikut dalam penerbangan itu, walaupun ketika itu belum diketahui cara melaporkan berita kepada mereka dan kepada redaksi masing-masing.


'Kontrak mati'


Akhirnya Presiden Soeharto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo, ibu kota bosnia Herzegovina, pada 13 Maret 1995. Jumlah penumpang pesawat buatan Rusia itu hanya 15 orang yang terdiri atas seorang wanita petugas PBB, serta 14 orang Indonesia.


Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk ANTARA dan RRI.
Para wartawan yang tinggal di Kroatia kemudian menyalami ANTARA dan RRI di tangga pesawat dan pada wajah-wajah mereka tampak jelas kekhawatiran atau ketakutan akan nasib rombongan ini. Mungkin juga, perasaan kurang beruntung karena mereka tidak bisa turut.


Tidak lama setelah pesawat PBB itu tinggal landas dari Kroasia, seluruh rombongan mendapat sebuah formulir berbahasa Inggeris yang harus ditandatangani semua orang, termasuk Soeharto. Formulir itu berupa penegasan bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam penerbangan itu. Walau sempat ragu-ragu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menandatangani kontrak itu. Terlihat juga Soeharto, Moerdiono, Ali Alatas membubuhkan tanda tangannya dalam formulir tersebut.


Setelah terbang sekitar satu jam, akhirnya pesawat buatan Rusia itu mendarat dengan mulus di Sarajevo.Sambil mengenakan rompi anti peluru ANTARA pun dengan tergesa keluar pesawat agar bisa memotret Soeharto turun dari pesawat.


Ketika itu, Soeharto mendapat pengawalan sangat ketat oleh pasukan bersenjata PBB serta Paspampres. Kemudian anggota rombongan diperintahkan segera masuk ke kantor PBB di bandara itu sambil menunggu persiapan ke kantor pemerintah setempat di tengah kota. Untuk rombongan itu, PBB menyediakan beberapa kendaraan lapis baja pengangkut personel (armoured personel carrier/APC). Soeharto yang juga naik APC disertai ajudan dan pengawal serta seluruh anggota rombongan kemudian berangkat ke pusat kota Sarajevo dengan mendapat pengawalan yang super ketat.


Begitu sampai di pusat pemerintahan Bosnia, Soeharto langsung mengadakan pertemuan tertutup dan anggota rombongan lainnya tidak diperkenankan pergi ke tempat lain agar terhindar dari kemungkinan serangan bersenjata dan penembak gelap. Sambil menunggu, ANTARA dan RRI mulai gelisah karena tidak tahu cara untuk mengirim berita. Akhirnya berkat bantuan juru foto Saidi, kedua wartawan ini bisa berbicara dengan Dan Grup A Paspampres Kolonel Sjafrie untuk memakai pesawat telepon langsung yang disiapkan untuk Soeharto.Tanpa memakai kode akses lokal atau internasional, giliran pertama diberikan kepada wartawan RRI untuk langsung menelepon ke kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.Ketika itu dia langsung bisa mengudara dan laporan berita olah raga yang ketika itu, sekira pukul 20.10 WIB, sedang disampaikan RRI di sela laporan langsung dari Bosnia.


Kemudian giliran ANTARA menelepon ke Jakarta dan dilanjutkan ke wartawan-wartawan yang menunggu di Kroasia untuk memberikan laporan mengenai kunjungan Soeharto di negeri yang sedang berperang itu.Pengalaman mengirim berita dari medan perang itu bakal tak terlupakan.Setelah Soeharto berunding dengan pejabat-pejabat tinggi Bosnia, akhirnya rombongan kembali ke bandara untuk selanjutnya terbang lagi ke Kroasia. Namun ANTARA dan RRI ternyata tidak bisa lagi satu pesawat dengan Soeharto karena ada dua jenderal TNI yang datang mendahului Soeharto harus ikut satu pesawat dengan presiden.


Dengan bantuan seorang letnan kolonel Paspampres, ANTARA dan RRI hari itu juga bisa bergabung dengan menggunakan pesawat PBB yang mengangkut ratusan prajurit PBB yang akan istirahat di Kroasia.Malam itu juga, kedua wartawan ini tiba di Kroasia. Tepuk tangan meriah diberikan wartawan lain ketika mereka melihat dua wartawan itu sudah berada di lobi hotel dengan selamat.Perjalanan Soeharto ke medan perang itu, walaupun tidak diikuti dengan konperensi internasional mengenai penyelesaian masalah Bosnia seperti direncanakan, semula tetap dikenang sebagai sebuah perjalanan bersejarah. Lawatan itu akhirnya menghasilkan berdirinya sebuah mesjid megah di ibu kota Bosnia yang merupakan hasil penyaluran bantuan banyak dermawan asal Indonesia.


Sumber : Info Dunia Militer

Peran Serta Indonesia Membantu Perjuangan Kaum Muslimin Di Negara Lain Era Presiden Soeharto






















KIRIMAN SENJATA DARI PAK SOEHARTO
UNTUK PEJUANG ISLAM

Pemerintah Indonesia saat ini bisa dianggap berdiam diri atau tidak proaktif dengan apa yang terjadi di dunia Islam. Kita lihat saja dari kasus di Rohingya, Suriah, atau bahkan yang terjadi di Palestina,yang telah diupayakan pemerintah Indonesia, sepertinya tidak selaras dengan potensi kekuatan politik bangsa Indonesia – sebagai bangsa dengan kaum muslimin terbesar di dunia – yang semestinya bisa lebih gagah menyuarakan keadilan dan membela kebenaran. Kita bisa membandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh Mesir dan Turki dalam hal ini.

Namun sejatinya, kita juga bisa membandingkan dengan apa yang terjadi dalam sejarah bangsa Ini, khususnya pada masa orde Baru di bawah kepemimpinan pak Harto. Sekali lagi kita tidak sedang membahas profil pak harto secara keseluruhan, yang barangkali masih sangat kontroversial bagi sebagian orang. Kita hanya membahas tentang aksi riil yang telah dilakukan pak Harto pada waktu itu untuk mendukung perjuangan dunia Islam, dengan harapan pemimpin saat ini mampu meneladaninya, dan setidaknya kita generasi muda mempunyai semangat yang kuat untuk melanjutkannya dan peran-peran positif lainnya.

Tentu jika kita bicara tataran pidato dan sikap seorang Presiden untuk mendukung dunia Islam atau anti pejajahan, akan banyak terungkap dalam dokumen maupun arsip sejarah. Saya tidak berputar di seputar statemen, tapi bagaimana aksi riil pemerintahan Soeharto mengirimkan bantuan senjata secara langsung, untuk mendukung perjuangan kaum muslimin disana. Kapan sajakah ?

Pertama : Pengiriman Persenjataan kepada Mujahidin 
Afghanistan (Tahun 1981)

Kisah ini dipaparkan oleh Marsekal Muda (Purn) Teddy Rusdy yang merupakan tangan kanan Benny Moerdani di bidang intelijen. Beliau membersamai Moerdani selama kurun waktu 20 tahunan lebih. Saya paparkan kisah ini sebagaimana dimuat dalam situs garudamiliter.com

“ Pada 1981, Teddy Rusdy mendampingi Pak Benny di Islamabad pertemuan rahasia dengan petinggi intelijen Pakistan yang membahas membantu logistik dan persenjataan Mujahidin Afghanistan.

Kata Teddy, saat itu, para mujahidin Afghanistan membutuhkan senjata yang sama dengan hasil rampasan yaitu buatan Uni Soviet. “Kebetulan senjata buatan Uni Soviet banyak di miliki ABRI saat Trikora dan Dwikora,” ungkap Teddy. Dengan persetujuan Presiden Soeharto terkumpul senjata-senjata buatan Uni Soviet. Senjata ini dikumpulkan di gudang khusus milik staf Hankam dan Gudang Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. “Kita hapus nomor seri yang tertera dalam setiap senjata untuk mengaburkan asal sumber senjata tersebut,” sergah Teddy. Semua senjata dimasukkan di dalam peti dan diberi tanda palang merah, dicampur dengan peti obat-obatan dan selimut.

Kata Teddy, operasi ini tidak melibatkan Atase Pertahanan RI di Pakistan yang waktu itu dijabat Kolonel Harjanto. “Ia tidak dilibatkan untuk menghindari kasus diplomatik apabila operasinya bocor.” Akhirnya operasi ini berjalan dengan mulus.

Kedua : Pengiriman Persenjataan pada Mujahidin Bosnia 
(Tahun 1992)

Dukungan berikutnya tidak secara langsung dari pak Soeharto, melainkan melalui adiknya yaitu Probosutejo, yang secara khusus menugaskan Soeripto – yang dikenal dengan Agen Intelijen Tiga Zaman- untuk membantu persenjataan Mujahidin Bosnia. Dengan berbekal dana sekitar 3 Milyar, pada waktu itu tentu jumlah yang sangat besar, Soeripto menghabiskan waktu 2 bulan di kawasan konflik itu untuk membeli senjata di pasar gelap, dengan segenap marabahaya dan konsekuensi untuk ditipu dan ditembak setiap saat. Juga kendala pengiriman senjata apakah lewat darat atau udara yang keduanya sama-sama berpotensi untuk diperiksa secara ketat. Akhirnya Soeripto berhasil membeli dan mengirimkan sejumlah peluru, senjata laras panjang, dan utamanya AK47 bagi kepentingan mujahidin Bosnia. Semua senjatanya baru dan diperiksa satu persatu oleh Soeripto.

Kisah petualangannya selama 2 bulan memasok senjata itu dilukiskan oleh Soeripto dengan nada bercanda : jika difilmkan akan lebih menegangkan dari James Bond. Soeripto juga mengaku tidak tahu apakah langkahnya tersebut dikoordinasikan oleh Probosutedjo kepada Soeharto atau tidak. Dalam pandangan saya, operasi semacam ini bukan kelasnya Probosutedjo secara pribadi, tentulah ada campur tangan rahasia Presiden sebagaimana disebutkan oleh Teddy Rusdy saat pengiriman senjata sebelumnya ke Afganhistan.

Akhirnya, bercermin dengan sepak terjang pemerintahan Indonesia pada saat yang lalu, khususnya dukungan riil pada perjuangan dunia Islam. Bagaimana dengan pemerintahan yang sekarang ? Apakah cukup dengan kata-kata himbauan dan prihatin saja ? Atau ada upaya diam-diam tapi riil langsung dirasakan kemanfaatannya bagi rakyat Palestina, Suriah dan Rohigya ? Saya berharap yang terakhir telah dijalankan oleh pemerintah kita saat ini, meski baru akan terbuka beberapa puluh tahun lagi.

Sumber : Info Dunia Militer

Kamis, 04 Oktober 2012

Potret Islam Di Museum Kita











Wajah orangtua itu bersungguh-sungguh. Mimik mukanya sangat serius. Ada sedikit kesedihan terpancar di kedua matanya. Bibirnya bergetar. “Negara ini sangat zalim dalam merekam perjalanan sejarah bangsanya sendiri, ” ujarnya.

Orangtua itu melanjutkan ceritanya. Dia bilang jika reformasi telah gagal di banyak bidang. Salah satunya, yang paling nyata, adalah di bidang penulisan sejarah bangsa.“Bagaimana generasi muda bangsa ini bisa bercermin pada sejarah bangsanya, bila yang ditemukan atau dikisahkan kepada mereka adalah kebohongan demi kebohongan. ”

Orangtua itu adalah Letnan Jenderal (Purn) Zaini Azhar Maulani atau yang biasa ditulis dengan ZA. Maulani saja. Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) di era Presiden Habibie itu tengah berdiskusi dengan segelintir anak muda di suatu daerah di Jakarta, pertengahan 2002.

Menurut lelaki kelahiran Marabahan, sebuah kota kecil di Kalimantan Selatan, tahun 1939, penulisan sejarah bangsa Indonesia telah banyak menyimpang dari fakta yang sesungguhnya terjadi. “Siapa pun tak kan bisa menolak fakta bahwa perjuangan umat Islam-lah yang menjadikan negara ini merdeka dan mampu mempertahankannya. Semangat jihad-lah yang membuat bangsa dan negara ini kuat menghadapi berbagai gempuran para musuhnya. Tapi apakah hal ini ditulis dengan benar dan apa adanya dalam sejarah kita? Sama sekali tidak!” tegasnya.

Jenderal yang sangat bersahaya ini melanjutkan, “Jika tidak percaya dengan apa yang saya ucapkan ini, silakan Anda semua pergi ke museum. Lihat apa yang ditulis di dalam museum-museum kita tentang perjalanan sejarah bangsa ini. Apa yang mereka tulis tentang umat Islam Indonesia dan perjuangannya?”

Pernyataan akhir dari lelaki tegar ini sungguh menyesakkan dada. “Museum-museum kita menuliskan bahwa umat Islam Indonesia tidak lebih sebagai para pemberontak. Ada DI/TII dan NII Kartosuwiryo, Daud Beureueh, Kahar Muzakar, Gerombolan Imron ‘Woyla’, peledakan Borobudur, dan sebagainya. Umat Islam Indonesia dilukiskan sebagai teroris. Tidak lebih. ”

Saya, salah satu anak muda yang ikut dalam acara diskusi malam itu, pulang dengan berjuta pertanyaan di kepala. Setelah pertemuan itu, setiap saya berkesempatan mengunjungi museum, pernyataan Pak Maulani kembali terngiang di kepala. Menurut saya, Museum ABRI Satria Mandala yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, bisa merepresentasikan dengan baik apa yang dikatakan Pak Maulani. Karena di museum yang menempati lokasi bekas rumah pribadi Ratna Sari Dewi, salah satu isteri Presiden Soekarno ini, memang disengaja untuk memotret perjalanan sejarah bangsa ini sejak kemerdekaan tahun 1945 hingga masa Orde Baru.

Satria Mandala


Sejak awal Orde Baru hingga sekarang, Museum ABRI Satria Mandala merupakan satu-satunya museum yang dianggap terlengkap memotret perjalanan sejarah rakyat dan TNI di dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Ada istilah ‘dianggap’ karena secara kuantitas maupun kualitas, museum ini pun sesungguhnya tidak representatif dijadikan pedoman bagi bangsa ini di dalam menelusuri jejak sejarahnya.

Begitu memasuki ruang pertama museum ini, kita akan disuguhkan dengan sejumlah panji-panji angkatan. Lalu ada ruang diorama yang diawali dengan penggambaran pembacaan teks proklamasi yang dilakukan Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Jakarta, 17 Agustus 1945. Diikuti dengan diorama lainnya dan diakhiri dengan peristiwa Pertempuran Surabaya, 10 November 1945, yang begitu heroik dan oleh pemerintah RI diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Tidak ada satu pun kalimat yang menyinggung peranan umat Islam di dalam deret diorama pertama ini. Padahal, ini salah satu contoh saja, pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dicetuskan oleh Deklarasi Jihad para ulama se-Jawa pada bulan Oktober 1945 untuk bertekad mengusir penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Peranan Bung Tomo yang membakar semangat arek-arek Suroboyo dengan pidato jihadnya di depan corong RRI Surabaya, dengan berkali-kali memekikkan takbir “Allahu Akbar” hingga bergema di angkasa Kota Pahlawan itu juga sama sekali tidak disinggung. Padahal nyaris seluruh arek-arek Suroboyo rela berkorban jiwa dan raga karena semata-mata didasari adanya semangat jihad fi sabilillah, bukan semangat lainnya.

Dan ini bukan satu-satunya. Diorama lainnya yang juga secara hambar menggambarkan sejarah perjuangan umat Islam Indonesia adalah diorama tentang Palagan Ambarawa, 15 Desember 1945. Di dalam plat kuning yang berisikan informasi secara garis besar tentang Palagan Ambarawa, tidak ada sedikit pun yang menyinggung tentang peranan para Kiai dan Pasukan Santri yang sesungguhnya merupakan pasukan inti pemukul kekuatan pasukan Inggris, wakil dari pasukan Sekutu, yang baru saja mabuk kemenangan di dalam Perang Dunia II.

Sejarawan Islam dari Bandung, Ahmad Mansyur Suryanegara, mengisahkan, “Sejarah kita tidak menuliskan dengan benar soal Palagan Ambarawa. Padahal momentum itu merupakan momentum yang sangat penting, karena ketika itulah pasukan santri yang dipimpin para kiai berhasil memukul mundur pasukan Inggris yang merupakan pasukan pemenang Perang Dunia II. Pasukan santri ini juga berhasil merebut sejumlah benteng peninggalan Belanda dan membuat Sekutu yang dipimpin Mayjen Hawthron, Panglima Divisi India ke-23, pontang-panting melarikan diri menuju kapal-kapal perang mereka yang bersandar di pelabuhan Semarang. ”

Sebuah buku berjudul “Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya” melukiskan suasana pertempuran saat itu:“Ambarawa memerah bagain lautan api. Sambil terus mundur, musuh membakari rumah-rumah penduduk. Pasukan Sekutu terus dilabrak pasukan kita sampai lari keluar kota…. ”
Kedahsyatan Pertempuran Ambarawa ini kemudian oleh TNI Angkatan Darat dijadikan sebagai Hari Infanteri. Sebuah hari kebangaan dari korps yang dikenal di dunia sebagai The Queen of the Battle, Ratu Medan Tempur, yang memiki makna sebagai penentu kemenangan dalam setiap pertempuran. Kemenangan di Ambarawa-lah yang kemudian menaikkan tokoh religius Soedirman, mantan ustadz Muhammadiyah, sebagai Panglima Tentara Republik Indonesia (TRI). Sejumlah tokoh juga naik namanya berkat Ambarawa yakni Ahmad Yani, Pranoto, dan Soeryosoempeno.

Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris yang menulis: “The battle of Ambarawa had been a fierce struggle between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand, Indian soldiers, assisted by a Japanese company….” Yang juga ditambahi dengan kalimat, “The British had bombed Ungaran intensively to open the road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from where the fighting spirit was sustained…”

Sayang beribu sayang, oleh sejarah resmi yang beredar sekarang, Palagan Ambarawa dianggap sebagai kesuksesan tentara semata, menghapus peran ribuan laskar santri dan para kiai yang sesunguhnyalah berperan besar dalam pertempuran ini. Monumen dan Museum Palagan Ambarawa saja yang didirikan di kota yang berhawa sejuk itu, 35 kilometer selatan Semarang, pada tahun 1973-1974 juga tidak menyinggung fakta sejarah ini.

Dalam tulisan kedua, kita akan menengok Museum Waspada Purba Wisesa, sebuah gedung bertingkat yang masih terletak di areal Museum ABRI Satria Mandala. Di Museum ini, umat Islam Indonesia digambarkan tidak lebih dari seorang teroris. Diorama pertama saja sudah menggambarkan penghilangan tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, yang digambarkan dengan penuh kesyukuran. Padahal, peristiwa ini tidak lebih sebagai bentuk pengkhianatan. Tidak lebih. (/Rizki Ridyasmara/eramuslim)



Galery Museum Satria Mandala


Setelah ‘menengok’ Museum ABRI Satria Mandala, kita akan mengunjungi Museum Waspada Purba Wisesa,sebuah museum kecil yang menempati dua lantai dari sebuah gedung berlantai lima yang masih berada di dalam areal Museum ABRI Satria Mandala.

Museum ini, sesuai dengan namanya, merupakan sebuah ‘situs peringatan’ kepada bangsa ini agar tidak melupakan aneka pemberontakan terhadap negara. Terdiri dari puluhan diorama yang menggambarkan hal tersebut.

Dalam satu artikel yang dimuat Harian Sinar Harapan (2003) berjudul “Museum TNI dan Polri, Obyek Wisata Pemerintah”, museum ini dikatakan sebagai, “Isinya berupa fakta sejarah tentang gerombolan pengacau dan juga gambaran bangsa Indonesia yang Pancasilais. Meskipun berkesan propaganda dari Pemerintah Orde Baru, namun buat informasi sejarah masih layak digunakan. ”

Siapa yang dimaksud dengan istilah ‘Gerombolan Pengacau’? Pertanyaan ini seakan dijawab dengan deretan diorama yang ada. Begitu kita memasuki pintu utama, diorama yang pertama menampilkan peristiwa dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945. Secara atraktif, bahkan norak, dengan memakai lampu sorot yang berkedip-kedip berwarna merah, terdapat tulisan, “…dengan kewadjiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja. ”—yang kemudian diberi tanda silang.

Hal ini seolah mengatakan bahwa dihapusnya tujuh buah kata tersebut merupakan sebuah kemenangan bagi bangsa Indonesia, yang berhasil menghapuskan Islam dari nafas legal-formal kenegaraan dan kebangsaan, sehinga Republik Indonesia berdiri di atas dasar sekularisme.

“Padahal, dihapuskannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945 itu merupakan sebuah pengkhianatan founding fathers kita terhadap cita-cita kemerdekaan, yang direbut dan dipertahankan dengan susah-payah, dengan perjuangan di bawah gemuruh takbir Allahu Akbar dan semangat jihad fisabilillah!” tegas KH. Firdaus AN.

Peristiwa pengkhianatan para founding fathers negara ini terhadap amanah rakyatnya sendiri digambarkan dengan begitu jumawa dan tanpa perasaan malu sedikitpun. Diorama ini nyata-nyata telah menafikkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dilakukan umat Islam. Padahal, tanpa perjuangan umat Islam, tak kan pernah ada sebuah negara bernama Republik Indonesia.

Diorama-diorama selanjutnya berisi aneka peristiwa pemberontakan yang kebetulan dilakukan atas nama Islam seperti Komando Jihad dengan peristiwa Woyla, DI/TII, Kahar Muzakar, Daud Beureueh, peledakan Candi Borobudur, pemberontakan Yon 427 yang terdiri dari mantan Laskar Sabilillah dan Hisbullah, dan sebagainya.

“Di museum-museum kita, perjuangan umat Islam Indonesia dihapuskan begitu saja, sama sekali tidak pernah dianggap ada. Jika pun ada maka hal itu hanya terkait dengan peristiwa pemberontakan atau terorisme. Ini yang harus diubah, ” papar ZA. Maulani.

Resolusi Jihad para ulama yang kemudian meletus menjadi peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Palagan Ambarawa yang dipimpin oleh ribuan laskar santri di bawah komando para ulama, tingginya religiusitas seorang Jenderal Soedirman yang setiap pidato dan surat-suratnya senantiasa diawali dengan takbir Allahu Akbar dan sarat mengutip ayat-ayat jihad dari Al-Qur’an, dan sebagainya, semua itu dihapuskan dari catatan sejarah negeri ini.

Seolah-olah Indonesia bisa merebut kemerdekaan dan mempertahankannya dari gempuran pasukan Sekutu pemenang Perang Dunia II hanya berbekal bambu runcing dan kalimat ‘Merdeka atau Mati’! Hal ini sangatlah naïf.

Mudah-mudahan, seiring dengan berjalannya waktu, penulisan sejarah kita bisa diluruskan dan diperbaiki. Hitam katakan hitam, dan putih katakan putih. Jangan seperti sekarang, di mana banyak koruptor malah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, dan banyak para pahlawan yang sesungguhnya dimakamkan di areal pemakaman umum. Itu pun banyak yang kemudian digusur karena ahli warisnya tidak sanggup membayar pajak dan retribusi makam.

Letnan Jenderal (Purn) ZA. Maulani wafat pada hari Selasa, 5 April 2005. Namun keinginannya, meluruskan sejarah tentang perjuangan umat Islam Indonesia, semoga dilanjutkan generasi muda bangsa ini. Amien. (Rz/Tamat/eramuslim)

Rabu, 03 Oktober 2012

Sikap PBNU terhadap PKI

















Gus Dur tidak pernah minta maaf kepada PKI soal tragedi 1965


Reporter: Baiquni

Selasa, 2 Oktober 2012 02:29:00

Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU, Andi Najmi Fuaidi membantah fakta mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah meminta maaf kepada korban tragedi 1965 dari pihak PKI. Menurutnya, Gus Dur hanya mengusulkan adanya forum rekonsiliasi.

"Gus Dur tidak pernah meminta maaf. Gus Dur hanya mengusulkan bagaimana ada permintaan saling memaafkan dari kedua belah pihak," ujar Andi kepada wartawan di sela acara tahlil dan doa bersama untuk ulama dan santri korban PKI di Gedung PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Senin (1/10).

Andi mengatakan, Gus Dur memang pernah bertemu dengan tokoh PKI untuk membicarakan persoalan rekonsiliasi. Waktu itu, Gus Dur bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer yang meminta negara meminta maaf atas pembantaian terhadap PKI.

"Waktu itu, Gus Dur mengiyakan permintaan Pramoedya dengan syarat PKI harus meminta maaf terlebih dulu," tutur Andi.

Andi juga menyatakan, NU tidak akan meminta maaf kepada PKI. Dia bersikeras NU merupakan korban dari PKI.

"Jika ulama didesak untuk meminta maaf, itu tidak akan terjadi. Kami tidak akan meminta maaf karena NU juga korban," tegas dia.


PBNU: Justru santri yang jadi korban PKI


Reporter: Baiquni

Senin, 1 Oktober 2012 19:59:57

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar tahlil memperingati meninggalnya para santri akibat kekejaman PKI dalam rentang waktu 1948 hingga 1965. Acara ini sekaligus pernyataan sikap PBNU meluruskan sejarah yang dinilai telah melenceng.

"NU saat ini sedang menghadapi fitnah luar biasa. Kita dianggap pelaku kejahatan 1965, padahal kita adalah korban," ujar Wakil Ketua Umum PBNU, KH As'ad Said Ali, membuka acara tahlil dan doa bersama di Gedung PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Senin (1/10).

As'ad mengatakan, selama 1948 hingga 1965 banyak santri terbunuh. Tetapi, menurutnya, fakta itu ditutupi dengan menyatakan konflik yang terjadi hanya manuver yang dilakukan TNI.

"Para penulis sejarah termakan oleh manipulasi buku putih yang dibuat Aidit. Tetapi, rakyat, ulama dan santri sebagai korban tetap mencatat dalam sejarahnya sendiri," kata As'ad.

Selanjutnya, kata As'ad, NU merasa perlu meluruskan sejarah yang telah menyimpang. Selain itu, As'ad juga menegaskan NU tidak akan meminta maaf atas terjadinya tragedi 1965.

"NU mau memaafkan PKI sejauh mereka meminta maaf. Bukan permintaan maaf sepihak seperti mereka tuntut, karena justru kesalahan ada pada mereka dengan melakukan agitasi serta teror bahkan pembantaian," pungkas As'ad.

Sumber : Merdeka