HARI-HARI AKHIR SI PITUNG
Betawi Oktober 1893. Rakyat Betawi di kampung-kampung tengah berkabung. Dari mulut ke mulut mereka mendengar si Pitung atau Bang Pitung meninggal dunia, setelah tertembak dalam pertarungan tidak seimbang dengan kompeni. Bagi warga Betawi, kematian si Pitung merupakan duka mendalam. Karena ia membela rakyat kecil yang mengalami penindasan pada masa penjajahan Belanda. Sebaliknya, bagi kompeni sebutan untuk pemerintah kolonial Belanda pada masa itu, dia dilukiskan sebagai penjahat, pengacau, perampok, dan entah apa lagi.
Jagoan kelahiran Rawa Belong, Jakarta Barat, ini telah membuat repot pemerintah kolonial di Batavia, termasuk gubernur jenderal. Karena Bang Pitung merupakan potensi ancaman keamanan dan ketertiban hingga berbagai macam strategi dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk menangkapnya hidup atau mati. Pokoknya Pitung ditetapkan sebagai orang yang kudu dicari dengan status penjahat kelas wahid di Betawi.
Bagaimana Belanda tidak gelisah, dalam melakukan aksinya membela rakyat kecil Bang Pitung berdiri di barisan depan. Kala itu Belanda memberlakukan kerja paksa terhadap pribumi termasuk ‘turun tikus’. Dalam gerakan ini rakyat dikerahkan membasmi tikus di sawah-sawah disamping belasan kerja paksa lainnya. Belum lagi blasting (pajak) yang sangat memberatkan petani oleh para tuan tanah.
Si Pitung, yang sudah bertahun-tahun menjadi incaran Belanda, berdasarkan cerita rakyat, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh schout van Hinne dalam suatu penggerebekan karena ada yang mengkhianati dengan memberi tahu tempat persembunyiannya. Ia ditembak dengan peluru emas oleh schout (setara Kapolres) van Hinne karena dikabarkan kebal dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap Bang Pitung, sampai tempat ia dimakamkan dirahasiakan. Takut jago silat yang menjadi idola rakyat kecil ini akan menjadi pujaan.
Si Pitung, berdasarkan cerita rakyat (folklore) yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil belajar mengaji di langgar (mushala) di kampung Rawa Belong. Dia, menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’. Dia juga ‘terang hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai mampu membaca (tilawat) Alquran. Selain belajar agama, dengan H Naipin, Pitung –seperti warga Betawi lainnya–, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga guru tarekat dan ahli maen pukulan.
Suatu ketika di usia remaja –sekitar 16-17 tahun, oleh ayahnya Pitung disuruh menjual kambing ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari kediamannya di Rawa Belong dia membawa lima ekor kambing naik gerobak. Ketika dagangannya habis dan hendak pulang, Pitung dibegal oleh beberapa penjahat pasar. Mulai saat itu, dia tidak berani pulang ke rumah. Dia tidur di langgar dan kadang-kadang di kediaman gurunya H Naipan. Ini sesuai dengan tekadnya tidak akan pulang sebelum berhasil menemukan hasil jualan kambing. Dia merasa bersalah kepada orangtuanya. Dengan tekadnya itu, dia makin memperdalam ilmu maen pukulan dan ilmu tarekat. Ilmu pukulannya bernama aliran syahbandar. Kemudian Pitung melakukan meditasi alias tapa dengan tahapan berpuasa 40 hari. Kemudian melakukan ngumbara atau perjalanan guna menguji ilmunya. Ngumbara dilakukan ke tempat-tempat yang ‘menyeramkan’ yang pasti akan berhadapan dengan begal.
Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajari Bang Pitung disebut Rawa Rontek. Gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Bang Pitung dapat menyerap energi lawan-lawannya. Seolah-olah lawan-lawannya itu tidak melihat keberadaan Bang Pitung. Karena itu dia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Menurut cerita rakyat, dengan ilmu kesaktian rawa rontek-nya itu, Bang Pitung tidak boleh menikah. Karena sampai hayatnya ketika ia tewas dalam menjelang usia 40 tahun Pitung masih tetap bujangan.
Si Pitung yang mendapat sebutan ‘Robinhood’ Betawi, sekalipun tidak sama dengan ‘Robinhood’ si jago panah dari hutan Sherwood, Inggris. Akan tetapi, setidaknya keduanya memiliki sifat yang sama: Selalu ingin membantu rakyat tertindas. Meskipun dari hasil rampokan terhadap kompeni dan para tuan tanah yang menindas rakyat kecil.
Sejauh ini, tokoh legendaris si Pitung dilukiskan sebagai pahlawan yang gagah. Pemuda bertubuh kuat dan keren, sehingga menimbulkan rasa sungkan setiap orang yang berhadapan dengannya. Dalam film Si Pitung yang diperankan oleh Dicky Zulkarnaen, ia juga dilukiskan sebagai pemuda yang gagah dan bertubuh kekar. Tapi, menurut Tanu Trh dalam ‘Intisari’ melukiskan berdasarkan penuturan ibunya dari cerita kakeknya, Pitung tidak sebesar dan segagah itu. ”Perawakannya kecil. Tampang si Pitung sama sekali tidak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya kehitam-hitaman, dengan ciri yang khas sepasang cambang panjang tipis, dengan ujung melingkar ke depan.”
Menurut Tanu Trh, ketika berkunjung ke rumah kakeknya berdasarkan penuturan ibunya, Pitung pernah digerebek oleh schout van Hinne. Setelah seluruh isi rumah diperiksa ternyata petinggi polisi Belanda ini tidak menemukan si Pitung. Setelah van Hinne pergi, barulah si Pitung secara tiba-tiba muncul setelah bersembunyi di dapur. Karena belasan kali berhasil meloloskan diri dari incaran Belanda, tidak heran kalau si Pitung diyakini banyak orang memiliki ilmu menghilang. ”Yang pasti,” kata ibu, seperti dituturkan Tanu Trh, ”dengan tubuhnya yang kecil Pitung sangat pandai menyembunyikan diri dan bisa menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang-orang lain.” Sedang kalau ia dapat membuat dirinya tidak tampak di mata orang, ada yang meyakini karena ia memiliki kesaksian ‘ilmu rontek’. (Alwi Shahab)
MELACAK SI PITUNG
Siapa yang tidak mengenal Si Pitung, sebuah nama yang kerap menjadi fenomena tidak hanya di kalangan sejarawan namun juga di jagad persilatan. Pro dan kontra akan keberadaannya menjadi polemik yang patut dikemukakan, apakah tokoh yang satu ini memang benar adanya atau hanya dongengan pengantar anak-anak menjelang tidur semata?.
Dari beberapa cerita epos rakyat Betawi, hanya tokoh dengan nama Si Pitung lah yang masih diselimuti oleh misteri, baik riwayat asal usul dan keluarga, motivasi perlawanannya terahadap tuan tanah dan kompeni Belanda, sampai ke satu hal yang paling dipergunjingkan di kalangan persilatan, yaitu aliran silat Betawi macam apa yang dimilikinya.
Beberapa penulisan telah dilakukan, baik dari dalam maupun dari negeri Belanda sendiri. Tercatat data-data yang ada mengenai hal ini belum begitu bisa menjawab kemisteriusan legenda Si Pitung.
Bahan disertasi dan catatan ringkas buku cerita rakyat, umumnya mengutarakan tentang sepak terjang Pitung sebagai pahlawan bagi rakyat jelata. Tidak ada satupun dokumentasi yang menyatakan tentang pribadinya secara kongkrit, asal muasal ataupun kepiawaiannya dalam bermain ilmu silat.
Terbatasnya sumber tulisan tentang dirinya tidak menyurutkan pelacakan, sumber-sumber terkait termasuk keturunan ahli waris, cerita orang-orang tua, dan peninggalan berupa makam menjadi objek penelitian utama. Disamping masih menggunakan data-data yang sudah ada, tidak menutup kemungkinan pelacakan juga melibatkan kontemplasi dan masukan dari para sesepuh dan pakar yang berkecimpung di dunia silat dan kebatinan.
RANCAG LENONG
Sepak terjangnya dianggap sebagai kepanjangan tangan rakyat yang tertindas, meskipun jalan yang ditempuh jelas-jelas bertentangan dengan norma agama dan hukum Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat Betawi.
Rancag lenong seringkali menceritakan tentang kelihaian Si Pitung dalam menghadapi kejaran polisi Belanda, karena mempunyai ilmu halimun atau menghilang setiap kali terkepung.
Versi lain menceritakan ketika berhasil ditembak dengan peluru emas, mayat Si Pitung dimutilasi dan dikuburkan secara terpisah karena memiliki ajian Rawe Rontek. Sekalipun demikian masih dapat hidup kembali dan membantu perjuangan menghadapi tentara Jepang di zaman revolusi fisik.
Rancag Lenong tanpa disadari telah menina bobokan sebagian besar masyarakat Betawi, yang pada dekade awal tujuh puluhan memerlukan simbol kepahlawanan sebagai pembangun spirit masyarakat natif Jakarta yang terpinggirkan, baik oleh para pendatang maupun pemerintah kala itu (Ridwan Saidi, Eksistensi Melayu Betawi-2).APA & SIAPA SI PITUNG
Nama Pitung merupakan nama yang absurd. Hal ini jelas tertera dari berita harian berbahasa Melayu, Hindia Olanda edisi ke 26 Juni tahun 1882 yang menyebutnya bervariasi. Ada Bitoeng, Pitang dan akhirnya Pitung.
Ketujuh orang atau Pitung ini adalah :
1.diketuai oleh Salihun yang tinggal dil Kemandoran Rawa Belong,
2.dan Ji’i (Saroji) paman nya Salihun yang juga sebagai ketua dan tinggal dil Kemandoran Rawa Belong,
3.Abdulrahman pemuda tanggung peranakan Arab asal Krekot,
4.Daeng Merais Jawara Legoa berdarah Bugis,
5.Mat Jebul yang sebelum bergabung adalah seorang Merbot di Cawang,
6.dan Tocang Gering bekas kuli panggul Pasar Ikan yang peranakan Tionghoa Kampung Dadap, Tangerang,
7.serta yang paling terakhir bergabung, Mujeran anak Depok murid H. Majid seorang pribumi kaya yang juga guru silat Ji’i. H. Majid adalah teman santri H. Naipin sewaktu mondok di Pesantren daerah Menes Banten.
Ji’i yang menjadi sahabat karibnya, menurut budayawan Betawi (alm) SM Ardan tidak lain adalah adik dari Nok Pinah ibu Salihun yang berdarah Cirebon. Disertasi Margreet Van Till hal:14 menyebutkan ketika Ji’i lepas dari tangkapan Demang Kebayoran, dia melarikan diri ke Singapura dan dari data ini disinyalir terdapat sindikat internasional dalam sepak terjangnya (Java-Bode 15-8-1893:2.).
PITUNG & PENCAK SILAT
Salihun pertama kali mengenal maenpukulan atau Pencak Silat dari ayahnya yang menguasai Jingkrik/Cingkrik, Cingkrik dikenal secara luas sebagai maenpukulannya orang Rawa Belong. Perihal siapa gurunya Bang Pi’un tidak diketahui dengan jelas.
Perkenalan Salihun dengan Daeng Merais (Rais) yang jawara Legoa asal Bugis, terjadi ketika hasil jualan milik ayahnya di pasar Tenabang dicuri Rais dan kawan-kawan. Salihun yang dibantu Ji’i berhasil menaklukan gerombolan ini, sehingga terjadi kesepakatan diantaranya untuk menjalin persekongkolan.
Seorang tauke wanita bernama Mie di Kali Besar tak pelak menjadi korban perampokannya, darinya kelompok Pitung berhasil menggasak sejumlah kain sarung sehara ratusan gulden, pakaian pria, dan sepucuk revolver beserta pin dan 5 pelurunya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).
Ketika sepak terjang kelompok ini telah tercium oleh komandan polisi AWV Hinne, Salihun berusaha menghindar ke daerah pesisir Marunda. Baginya pesisir adalah daerah yang sangat strategis untuk dijadikan markas sekaligus sarana pelarian dengan menggunakan media laut.
“Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Sapiudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.” (Damardini 1993:14)
PESISIR PANTAI & KAKI GUNUNG SEBAGAI TEMPAT PELARIAN
Perjumpaanya dengan Isah, gadis asal Kali Baru mengantarkannya kepada Abdul Halim, ayah Isah yang terkenal sebagai guru silat aliran pesisir Syahbandar. Menurut Alwi Shahab, Salihun mendalami aliran silat Syahbandar ini. Kemungkinan ketika dalam persembunyiannya di Marunda, namun tidak sampai tamat karena kedudukannya telah tercium oleh kompeni yang berhasil meringkus kaki tangan Rais yang bernama Jeram Latip. Untuk meringankan hukumannya Jeram Latip bersedia dijadikan polisi partikelir yang menginformasikan keberadaan kelompok Pitung. Jeram Latip kemudian dibunuh Rais lewat pembantaian yang keji.
Kemanapun kelompok Pitung ini melarikan diri, selalu saja tercium kompeni. Modus operandi yang mengarahkan persembunyian pada pesisir laut dan kaki gunung telah tercium Van Hinne, dimana pesisir adalah tempat strategis untuk melarikan diri ke arah lautan, disamping dukungan nelayan Cirebon, Banten, Bugis dan Indramayu kepada kelompok ini.
Sedangkan kaki gunung merupakan gerbang ke arah rimba raya pegunungan, dimana hanya militer Belanda yang sedang sibuk dalam peperangan di Acehlah yang sanggup dan memiliki fasilitas ke arah itu. Sebut saja jalan menuju Depok yang kala itu masih diselimuti hutan belantara.
Salihun, Ji’i, Mat Jebul dan Mujeran sempat melarikan diri ke rumah Kong Haji Majid di Depok melalui sungai Ciliwung yang sebelumnya mampir di kampung halaman Mat Jebul di Cawang. Sementara Rais telah lebih dulu tertembak kompeni di atas perahu tatkala ingin melarikan diri lewat Marunda. Begitupun Abdulrahman yang tewas tertembak di daerah Bandengan .
Politik suap mulut kala itu bukan satu hal yang aneh lagi, hal ini terjadi manakala sepasukan polisi Belanda setingkat kompi yang dipimpin AW Van Hinne berhasil menangkap Ji’i untuk yang pertama kali namun kemudian berhasil melarikan diri ke kampung halamannya di desa Singapura, Cirebon. Keberhasilan penangkapan itu ditenggarai masyarakat atas jasa demang Kebayoran, hingga seminggu kemudian Salihun menembak mati Demang Kebayoran itu.
Tiga bulan kemudian, tepatnya di 16 Oktober 1893 lewat agennya Van Hinne berhasil menemukan jejak Salihun di daerah Kampung (Kota) Bambu yang sekarang masuk ke wilayah Tomang. Ketika di buru ternyata Salihun telah beralih ke arah pemakaman di Tenabang, dengan bergegas Van Hinne pun mendahului kea rah Tenabang (Hindia Olanda 18-10-1893:2).
Di pemakaman Tenabang yang sepi Salihun telah dinanti Scout AW Van Hinne beserta beberapa agennya. Karena tidak mengenali sosok Salihun yang seperti anak kecil, Van Hinne menegurnya dengan menyebut “hei…anak kecil”, kemudian yang ditegur langsung membalikkan badan dan memberondongkan revolvernya.
Terjadi tembak menembak diantara keduanya, yang kemudian pada tembakan selanjutnya Van Hinne berhasil menembak lengan Salihun. Salihun masih tetap berdiri bahkan balas menembak. Pada sepertiga peluru dari magazine revolver Van Hinne yang dimuntahkan tepat mengenai dada Salihun, hingga tersungkur, namun masih bisa melarikan diri. Pada kesempatan itu agen polisi lain yang sedari tadi mengepung di tempat lain menyambutnya dengan berondongan peluru kearah bawah punggung yang menembus hingga ke dada. Salihun tidak berkutik hingga sekarat dan di bawa ke Rumah Sakit , namun Salihun hanya bertahan satu hari di rumah sakit. Dia meninggal pada tanggal 17 Oktober 1893 pada usia 29 tahun, dalam keadaan membujang. Beberapa sanak keluarga yang menjenguk Salihun berhasil diizinkan untuk mengambil mayatnya dari rumah sakit, yang sebelumnya tidak mendapatkan izin.
Tepat satu hari sesudah itu, Minggu 18 Oktober 1893 pukul lima sore jenazah Salihun dikebumikan di daerah Kampung Baru, sekarang masuk ke Kebon Jeruk tepatnya di Green Garden sekarang. Versi lain menyatakan jenasahnya dikebumikan di daerah Kampung (Kota) Bambu, Tumang (Tomang) tepatnya di Jl. Kemuning, Jakarta Barat.
Menurut surat kabar Lokomotief yang pro Belanda, menyatakan bahwa ketika dalam keadaan sekarat Salihun meminta towak sama ijs (tuak dan es), permintaan mengejutkan buat seorang muslim yang taat.
Di lain pihak berita ini dibantah oleh harian berbahasa Melayu (Hindia Olanda 18-10-1893:2) yang menyatakan bahwa bukan Salihun yang meminta, melainkan tuak itu sengaja disodorkan Van Hinne dan kemudian ditolak (dimuntahkan) Salihun. Harian ini juga menambahkan bahwa selang beberapa jam sebelum kematian Salihun yang ditenggarai sebagai Pitung, terlihat di Pasar Senen sedang mencukur rambutnya. Dari berita ini ingin menjelaskan kepada masyarakat yang terlanjur menganggapnya sakti, bahwa Salihun atau Si Pitung hanya manusia biasa yang kebal peluru bahkan dengan pisau cukur sekalipun.
Tercatat dalam terbitan surat kabar Hindia Olanda yang memberitakan sepak terjang Salihun, Ji’i dengan kelompok Pitungnya berlangsung selama 16 bulan, dari edisi 26 Juni 1892 hingga 19 Oktober 1893.
Karena jasa-jasa Scout AW Van Hinne memberantas gerombolan Si Pitung ini, dia mendapat medali “the Broeder van de Nederlandsche Leeuw” dari pemerintahnya. Kemudian tugasnya dipindahkan ke kantor kepolisian pusat Batavia yang sekarang menjadi kantor POLDA Metro Jaya.
Setelah padamnya perlawanan kelompok Si Pitung, sebagian masyarakat tetap pada keyakinan semula bahwa Si Pitung dapat hidup kembali. Umumnya keyakinan ini disampaikan lewat kesenian rakyat “Rancag Si Pitung” yang marak pada masa itu :
‘Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya.KESIMPULAN
Bahwa nama “Si Pitung” bukan nama perorangan, melainkan nama kelompok yang terdiri dari tujuh orang dari asal kata Jawa Cirebon (pitung pitulungan). Kelompok ini tidak lain dari sebuah perkumpulan beberapa orang “jago” yang berasal dari kampung-kampung di Batavia. Sepak terjak yang merugikan tuan tanah sangat didukung masyarakat Betawi yang kala itu menjadi sapi perahan tuan tanah.
SEJARAH
Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu :
1. versi Indonesia,
2. versi Belanda,
3. dan versi Cina.
Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah Si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda.
Cerita Si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian lengenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah Legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), sair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.
TEMPAT LAHIR
Si Pitung lahir di daerah Pengumben sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bung Piung dan ibunya bernama Mbak Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin (seorang pedagang kambing). Seperti yang dikisahkan dalam film Si Pitung (1970).
NAMA ASLI PITUNG
Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari Bahasa Jawa Pituan Pitulung (Kelompok Tujuh), kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen).
AWAL LEGENDA
Menurut versi van Till (1996) Si Pitung merupakan seorang kriminal, yang diawali ketika Si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang, kemudian dicuri oleh para “centeng” (Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah.Si pitung kembali pulang dengan tangan hampa, namun Si Pitung hanya tersenyum dan menjawab bahwa dia telah di rampok.
Ayah Pitung yang marah kemudian menyuruh Pitung pergi mencari uang tersebut dan akhirnya dapat menemukannya kembali.Namun, para pencuri alias "centeng" tersebut mengajak Si pitung untuk bergabung sebagai perampok dan menjadi ketua mereka.Pada awalnya Si pitung menolak , tetapi akhirnya Si pitung bergabung dengan mereka.
Legenda yang dikisahkan dalam film Si Pitung, Si Pitung dan Kawanan-nya menggunakan cara yang “pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si Pitung, Pitung sebagai "Demang Mester Cornelis (Wilayah Mester Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara merupakan bagian dari Kota Jakarta Timur") dan Dji-ih sebagai “Opas”). Kemudian melakukan penipuan dengan memberikan surat kepada Haji Saipudin agar Haji Saipudin menyimpan uang di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan Kelompoknya membawa lari uang tersebut.
Akibat dari hal ini kemudian Si Pitung dan Kawanannya menjadi buronan “kompenie”. Hal ini menarik perhatian komisaris polisi yang bernama Van Heyne (“Schout Van Heyne, atau Van Heijna, Scothena, atau “Tuan Sekotena”). Secara resmi menurut Van Till (1996) nama petugas polisi pada saat ini bernama A.W. Van Hinne yang pernah bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. (Menurut catatan kepolisis Belanda.
Van Hinne memulai karier sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belanda, kemudian menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat di Indonesia. Van Hinne menderita sakit yang serius, sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan. Pada akhir tahun 1880 Van Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia (Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274).
Van Hinne segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan ka-Demangan Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu bebas dengan kekuatan “magis” tetapi menurut versi Film Si Pitung (1970), Si Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
Kemudian Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si Pitung berupa “jimat” sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diragukan kebenarannya.
Tetapi menurut Versi Film Si Pitung Banteng Betawi (1971) dikhianati oleh Somad yang memberi tahukan kelemahan Pitung untuk mengambil “jimatnya”. Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil “Jimat Keris”-nya sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut, dan juga versi lain mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena sesorang melemparkan telur.
Akhirnya Pitung meninggal karena luka tembak Hinne (Berdasarkan versi Film Si Pitung, Pitung mati tertembak karena peluru emas). Sesudah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa Si Pitung akan bangkit dari kubur hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam Van Till (1996):
Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya
PITUNG ROBIN HOOD ALA BETAWI
Menurut Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):
Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya.
Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.'
Pitung menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996).Karmani menulis novel Si Pitung, novel ini dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali (1993).
'Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal' (Rahmat Ali 1993:7)
Beragam pro dan kontra banyak menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya bahwa tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh "Orang Betawi" terhadap penguasa pada saat itu yaitu Belanda.
Apakah hal ini dipertanyakan valid atau tidaknya, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung di atas bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat itu.
KISAH NYATA SI PITUNG
Berdasarkan penelusuran van Till (1996) berdasarkan Hindia Olanda 22-11-1892 (Koran Terbitan Malaya (Malaysia pada saat ini)). Pada tahun 1892 Si Pitung dikenal pada sebagai “One Bitoeng”, “Pitang", kemudian menjadi “Si Pitoeng” (Hindia Olanda 28-6-1892:3; 26-8-1892:2). Laporan pertama dari surat kabar ini menunjukkan bahwa schout Tanah Abang mencari rumah “One Bitoeng” di Sukabumi.
Dari hasil penemuannya ditemukan Jas Hitam, Seragam Polisi dan Topi, serta beberapa perlengkapan lainnya yang digunakan untuk mencuri kampung (Hindia Olanda, 28-6-1892:2). Sebulan kemudian polisi menggeledah rumahnya kembali dan ditemukan uang sebesar 125 gulden. Hal ini diduga uang curian dari Nyonya De C dan Haji Saipudin seorang Bugis dari Marunda (Hindia Olanda 10-8-1892:2;2; 26-8-1892:2).
Kemudian Si Pitung menggunakan senjata untuk mencuri pada tanggal 30 Juli 1892, ketika itu Si Pitung dan lima kawanannya (Abdoelrachman, Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering) menerobos rumah Haji Saipudin dengan mengancam bahwa Haji Saipudin akan ditembak.
Pada tahun 1892 Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah adanya nasihat dari Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) untuk menangkap Si Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil.
Karena kejadian tersebut Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seseorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah "belincong (sejenis linggis pencungkil)” kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).
Akibatnya, Si Pitung lepas lagi. Berdasarkan rumor, Pitung pernah menampakkan diri ke seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Semakin sulitnya menemukan Si Pitung, menyebabkan harga untuk penangkapan Si Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden.
Pemerintah Belanda pada saat itu ingin "menembak mati" di tempat , tetapi sebagian pejabat mengatakan jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.
Sebagai tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian secara kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga mencuri wanita pribumi, Mie dan termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C seorang pedagang wanita di Kali Besar menyatakan bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahu-nya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).
Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya, ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal.
Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda 19-8-1893:2).
Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh dari Batavia beberapa minggu kemudian.
“'Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan di tempat sepi troes, Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega.' (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)
Beberapa bulan kemudian, di Bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian dalam perajalanannya Hinne diberikan laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893), kemudian Hinne menembaknya dalan penyergapan itu.
Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi, meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya yaitu hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore
Setelah Hinne menangkap Pitung setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar "Pitung"-"Pitung" yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.
KESAKTIAN & KEMATIAN SI PITUNG
Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen tersebut di atas. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2) sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu. Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang akibat jimat-nya diambil orang (Versi Film Si Pitung Banteng Betawi), tetapi yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat di-"lemahkan" jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hidia Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.
PEMAKAMAN SI PITUNG
Sesudah kematian Si Pitung, makamnya dikawal oleh tentara, karena beberapa masyarakat percaya dia akan bangkit dari kematian. Menurut Rancak Si Pitung dijelaskan bagaimana kondisi sesudah kematian Si Pitung.
"Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya."