Sabtu, 08 September 2012

Kontroversi Kisah Walisongo & Sosok Siti Jenar Bag 1

















Kontroversi kisah walisongo & siti jenar dalam syiar islam ditanah jawa pada abad ke-17 umumnya sudah bercampur dengan kisah sinkretisme (faham percampuran budaya bahkan klenik dalam peribadatan) yang tidak ada dalam islam & para wali pun tidak mengajarkannya.

Munculnya sinkretisme dalam pemahaman masyarakat mengenai keberadaan walisongo & siti jenar banyak yang berasal dari dongeng secara turun-temurun yang di bumbui oleh kisah-kisah yang irasional. Tak ayal banyak pula bagian dari cerita tersebut yang sebenarnya hanya budaya setempat.


Maka seharusnya pemahaman masyarakat tentang walisongo & siti jenar yang berasal dari dongeng tersebut harus di luruskan & di arahkan, dengan cara menyajikan informasi ilmiah berdasarkan arkeologi sejarah tentang eksistensi walisongo & siti jenar dalam dakwahnya.


Pemahaman masyarakat tentang walisongo salah satunya adalah tentang pengertian kata songo atau sanga (sembilan). Ada yang menghubungkan sanga (sembilan) dengan keberadaan jumlah dewa-dewa hindu (ada sembilan dewa) yang di kenal masyarakat jawa sebelum kedatangan islam.

Pemahaman masyarakat tersebut perlu di kaji secara ilmiah dengan memikirkan sikon masyarakat pada masa itu. Dengan demikian pandangan yang tidak sesuai dengan dasar islam, al qur'an & hadits dapat di luruskan. Pemahaman masyarakat tentang walisongo & siti jenar (merupakan salah tafsir dari masyarakat, di sebabkan penulisan sejarah tidak berdasarkan data ilmiah, tetapi berdasarkan mitos & legenda).

Kesalahan masyarakat dalam memahami pengertian walisongo yaitu karena ada sebagian masyarakat yang menganggap walisanga (wali sembilan) ada kaitan & dihubung-hubungkan dengan sembilan dewa yang ada pada ajaran hindu. Akibatnya muncul lah tradisi-tradisi hindu yang di amalkan oleh sebagian kecil umat islam, & ketika di tegur mereka menjawab ini ajaran walisongo, padahal bukan.

Contoh ajaran yang di anggap sebagai ajaran walisongo & siti jenar (padahal bukan) antara lain :
- Semedi
- Mengantarkan jenazah dengan membawa payung
- Berziarah dengan membawa bunga
- Membakar kemenyan
- Acara tahlil tujuh harian, empat puluh harian dst
- & beberapa tradisi hindu yang di adopsi oleh umat islam selama ini.

Padahal walisongo & siti jenar tidak pernah mengajarkan bid'ah, takhyul, khurafat seperti apa yang berkembang di masyarakat saat ini. Karena sejarah membuktikan bahwa sunan-sunan walisongo adalah kumpulan mursyid (guru tarekat) yang sekaligus fuqaha (pakar ilmu syari'at), di samping mereka seorang mujahid islam yang pemberani.

Kesalahan masyarakat dalam memahami pengertian keramat (karomah) yang di terjemahkan dengan kesaktian seorang wali. Sehingga yang di ilustrasikan oleh beberapa film & sinetron walisanga & siti jenar adalah adegan-adegan kekerasan, duel beladiri, atraksi kesaktian, & keanehan-keanehan semacam sulap.

Padahal seharusnya pemahaman yang benar adalah Karomah Walisongo artinya Kemuliaan walisongo itu terletak pada penerapan Aqidahnya yang benar terhadap masyarakat, yaitu mengubah aqidah masyarakat yang sinkritisme, animisme, sekulerisme, pluralisme, liberalisme bahkan atheisme, dirubah menjadi aqidah TAUHID, penerapan syariat Islam secara “rahmatal lil alamin” dengan metode dakwah yang halus dan lembut, serta keteladan para walisongo melalui muamalah Islam dengan menerapkan perdagangan Islam, membentuk kafilah dagang, mensosialisasikan penerapan mata uang dinar emas dan dirham perak, keteladanan dalam berkhlakul karimah, dan bertarekat dengan tarekat walisongo, yaitu tarekat yang berlandaskan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan konsisten dalam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Menyebut Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah cerita dari mulut ke mulut, atau legenda yang tidak rasional, dan menyalahi Hukum Allah.


FITNAH SYEKH SITI DJENAR

1.Syekh siti djenar berasal dari cacing 

Kisah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah kisah
 bohong.

Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas;

“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”

[Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….


2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis kisah Syaikh Siti Jenar itu tidak berdasar alias ngawur.

Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’.

Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti.

Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ,

artinya "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (QS. al-Qashash : 88)..

Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.


3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb.

Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.

4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing.

Bantahan : “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih.

Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.


5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong.

Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron.

Bantahan : Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah.

Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci akan membunuh waliyullah. Tidak bisa diterima akal sehat.

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:

- Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
- Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
- Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]


FITNAH TERHADAP TOKOH SYIAR ISLAM YANG LAIN NYA

Menyebut Maulana Malik Israil ditafsirkan difitnah sebagai seorang Yahudi yang berdakwah Islam di tanah Jawa, Padahal Gelar Maulana Malik Israil di dapat karena beliau ditunjuk sebagai Raja di Kawasan Al-Quds (sekarang menjadi negara Palestina dan Israel) pada era Khilafah Turki Utsmani, Khalifah Muhammad II Al-Fattah (berkuasa antara tahun 855H/1451 M – 884H/ 1481 M).


Nama asli Maulana Malik Israel adalah Sayyid Ali Nurul Alam bergelar Maulana Malik Israel atau Sultan Qunbul, yang merupakan Kakek dari Sunan Gunung Jati. 


Silsilah Nasabnya adalah Sayyid Ali Nurul Alam bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Sayyid Abdul Malik bin Alwi (Ammul Faqih Muqaddam) bin Muhammd Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib dan Fatimah az-Zahra binti Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Pernikahan para syarifah keturunan walisongo dengan Raja Majapahit yang hindu, juga tidak benar. Karena sampai sekarang ini, keluarga besar keturunan walisongo, masih berpegang teguh dengan “Kafa’ah Syarifah”, yang mengajarkan bahwa syarifah (wanita keturunan walisongo hanya bisa menikah dengan sayyid).


Pemahaman yang salah dari masyarakat juga, terjadi dengan menyebut ajaran kejawen (kejawaan atau javanisme) sebagai warisan dari ajaran walisongo, seperti beberapa kitab jawa tentang sinkritisme jawa-hindu-islam, seperti ajaran tapa brata, semedhi, yoga brata. Padahal fakta ilmiahnya, para walisongo tidak pernah mengajarkan kekufuran semacam itu.

MENEPIS KERAGUAN SEJARAH TENTANG WALISANGA & SITI JENAR

Kisah para penyiar agama islam awal di indonesia, sampai saat ini memang masih banyak di selubungi mitos & misteri. Riwayat-riwayat yang ada masih banyak yang hanya disebut sebagai kisah atau riwayat dalam arti sempit, belum merupakan data sejarah yang betul-betul valid.


Sebenarnya hal tersebut bukan karena disebabkan sulitnya sumber sejarah yang bisa digali, sebagaimana selama ini selama ini banyak dikemukakan para ahli. Namun lebih banyak disebabkan karena kemalasan penelitian & penggalian sejarah dari bahan yang tersedia. 


Kebanyakan sejarawan terutama sastrawan di indonesia lebih banyak yang hanya sekedar mengekor informasi sejarah yang dibuat oleh para akademisi orientalis barat (amerika & eropa) dari pada mencoba mengadakan penelitian sendiri. Memang data sejarah yang dibuat oleh para akademisi orientalis lumayan penting karena standarisasi keilmuannya. Akan tetapi upaya penggalian sejarah yang kita lakukan sendiri adalah jauh lebih penting, sebagai pengayaan intelektual, serta sebagai upaya serius dari sebuah proyek besar pembuatan sejarah bangsa & umat ini.


Sebuah penelitian sejarah memang sangat melelahkan, sebab membutuhkan :

- Ketekunan
- Ketelitian
- Kecermatan
- & ketajaman analisis

Bahan-bahan yang digunakan pun harus memadai, dengan disertai kemampuan analisis data yang cukup valid. Dengan asumsi bahwa sejarah adalah suatu yang hampir tidak pernah pasti, maka tugas peneliti sejarah adalah mencari data agar menjadi sedekat mungkin dalam upaya kebenaran rekonstruksi sejarah, dengan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Ini tugas yang amat berat.


Bersambung...

1 komentar: