Sabtu, 08 September 2012

Kontroversi Kisah Walisanga & Sosok Siti Jenar Bag 2









Sambungan dari Kontroversi Kisah Walisanga & Sosok Siti Jenar Bag 1...

Data yang dihimpun pun tidak melulu hanya berdasarkan informasi yg sepertinya pasti, contoh catatan tahun dalam berbagai sumber rujukan. Sejarawan dituntut untuk meneliti data mana yang paling mendekati kebenaran dari beberapa sumber yang ada. Diperlukan ketekunan & ketelitian dalam menyilangkan data dari sumber-sumber  yang ada tersebut, agar data sejarah yang dipaparkan lebih mendekati kebenaran peristiwa yang sesungguhnya terjadi. 
Kesimpangsiuran sumber mengenai kisah walisanga & siti jenar pada umumnya disebabkan karena kurangnya tradisi penulisan sejarah yang pernah terjadi di indonesia. Utamanya pada masa kerajaan demak, budaya tulis jarang didapatkan. Ajaran walisanga & siti jenar yang tertulis didalam berbahai babad, serat & suluk merupakan hasil serapan & penuturan para pewaris ajarannya dikemudian hari (his-story). Sebagian besar dibuat untuk memenuhi pesanan penjajah belanda, yang kemudian diteliti, di edit, didaur ulang oleh para orientalis eropa. Hasil penelitian, editan, daur ulang tersebut kemudian disebar luaskan kembali di indonesia.

Pada jaman demak (abad ke-16) hanya ditemukan dua naskah yang ditulis tentang peristiwa pada era tersebut. Naskah jawa-islam ini terdapat dalam pembahasan orientalis belanda yang disebut :

- Het Boek van Bonang (Kitab suluk sunan bonang)
- Een Javaans Greschrift uit de 16e Eeuw (Primbon jawa abad ke-16)

Dalam karya sastra jawa-islam jaman demak istilah walisanga tidak ada atau tidak dikenal sama sekali. Menurut Dr Simuh buku sunan bonang masih bergaya pesantren, ajaran islam yang menentang penyimpangan. & pada masa itu tidak ada & tidak dikenal sebutan sunan yang dipopulerkan dalam sastra jawa baru produk kartasura & surakarta-an. Pada masa itu tidak ada istilah sunan tapi syekh atau guru. 
Istilah sunan & walisanga baru ditemukan pada karya sastra jawa baru era kartasura & surakarta akhir abad ke-17 & abad ke-18. Sementara bahasa yang digunakan dalam berbagai babad, serat & suluk yang mempopulerkan istilah walisanga bukan bahasa jawa jaman majapahit & demak. Namun bahasa jawa baru versi surakarta. Menurut Dr Rasyidi setelah mengkaji serat gatholoco & darmogandul ternyata sudah ada istilah polisi, kelah dsb, dimana istilah-istilah tersebut baru muncul pada abad akhir ke-17 & tidak ditemukan pada masa peralihan majapahit & demak.

Jadi menurut Dr Rasyidi cerita yang terdapat dalam serat tersebut merupakan hasil rekaan jaman penjajahan belanda di surakarta. Salah satu efek tunduknya kerajaan surakarta kepada belanda adalah penetrasi besar-besaran dibidang karya sastra hasil penelitian, editan & daur ulang para orientalis belanda yang disosialisasikan di kerajaan surakarta, kartasura & yogyakarta.


Begitu juga dengan karya sastra-budaya era sultan agung yang berbahasa jawa kuno kemudian di ubah-di edit menjadi karya sastra baru, hingga melahirkan puluhan sastra babad, antara lain :

- babad tanah jawi
- serat kandha
- babad mataram
- & babad sengkala 

Karya-karya editan tersebut menjadi puncak karya sastrawan jawa jaman kartasura & surakarta, yang umumnya mengisahkan perkembangan kerajaan-kerajaan islam utara (demak & cirebon) hasil rujukan pada karya sastra babad yang telah di edit tersebut. Karena sumber karyanya adalah serat & babad hasil editan, maka yang dipopulerkan adalah istilah walisanga yang menurut Dr Simuh adalah kisah fiktif sastrawan jawa abad ke-17. Istilah walisanga di adopsi dari budaya hindu majapahit, yang mengenal ada nya sembilan dewa utama dari 30 dewa yang ada. Oleh sastrawan kartasura hanya sembilan dewa utama yang di adopsi untuk mempopulerkan istilah walisanga (wali sembilan), dimana sunan kalijaga sebagai imam nya para wali, seperti figur & fungsi bathara narada selaku penyampai wahyu kepada priyayi jawa yang bertapa.

Mitos sunan kalijaga yang dianggap sebagai maha dewa itu ditandai dengan dongeng wahyu baju antakusuma atau kyai gondil yang diterimanya dari langit. Maka terjadilah kesenjangan jumlah para tokoh-tokoh syiar islam yang banyak menjadi hanya sembilan karena istilah walisanga itu. Para tokoh-tokoh syiar islam yang dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu :

- Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, 
- Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, 
- dan Cirebon di Jawa Barat.

Para tokoh-tokoh syiar islam tersebut adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan. Menurut Catatan dari Al-Habib Hadi bin Abdullah Al-Haddar dan As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini, para tokoh-tokoh syiar islam itu adalah :

Angkatan ke-1, tahun 1404-1435 M. Terdiri dari
1. Maulana malik ibrahim (wafat 1419 M)
2. Maulana ishaq
3. Maulana ahmad jumadil kubro
4. Maulana muhammad  Al maghrobi
5. Maulana malik israil (wafat 1435 M)
6. Maulana muhammad ali akbar (wafat 1435 M)
7. Maulana hasanuddin
8. Maulana aliyuddin
9. Syekh muhammad al baqir atau syekh subakir

Angkatan ke-2, tahun 1435 – 1463 M, terdiri dari
1. Sunan Ampel, [tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim]
2. Maulana Ishaq, [wafat 1463]
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Sunan Kudus, [tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il]
6. Sunan Gunung Jati, [tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar]
7. Maulana Hasanuddin, [wafat 1462 M]
8. Maulana ‘Aliyuddin, [wafat 1462 M]
9. Syekh Subakir, [wafat 1463 M]

Angkatan ke-3, 1463 – 1466 M, terdiri dari:
1. Sunan Ampel,
2. Sunan Giri, [tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq]
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, [w.1465 M]
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, [w.1465 M]
5. Sunan Kudus,
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang, [tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin]
8. Sunan Derajat, [tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin]
9. Sunan Kalijaga, [tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir]

Angkatan ke-4, 1466 – 1513 M, terdiri dari
1. Sunan Ampel, [w.1481]
2. Sunan Giri, [w.1505]
3. Raden Fattah, [pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra]
4. Fathullah Khan [Falatehan], [pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi]
5. Sunan Kudus,
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang,
8. Sunan Derajat,
9. Sunan Kalijaga, [wafat tahun 1513]

Angkatan ke-5, [1513 - 1533 M], terdiri dari
1. Syaikh Siti Jenar, wafat tahun 1517] [tahun 1481 Menggantikan Sunan Ampel]
2. Raden Faqih Sunan Ampel II [ Tahun 1505 menggantikan kakak iparnya, yaitu Sunan Giri]
3. Raden Fattah, [wafat tahun 1518]
4. Fathullah Khan [Falatehan],
5. Sunan Kudus, [wafat 1550]
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang, [w.1525 M]
8. Sunan Derajat, [w. 1533 M]
9. Sunan Muria, [tahun 1513 menggantikan ayahnya yaitu Sunan Kalijaga]

Angkatan ke-6, [1533 - 1546 M], terdiri dari:
1. Syaikh Abdul Qahhar [Sunan Sedayu], [Tahun 1517 menggantikan ayahnya, yaitu Syaikh Siti Jenar]
2. Raden Zainal Abidin Sunan Demak [Tahun 1540 menggantikan kakaknya, yaitu Raden Faqih Sunan Ampel II)
3. Sultan Trenggana [tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah]
4. Fathullah Khan [Falatehan], [wafat tahun 1573]
5. Sayyid Amir Hasan, [tahun 1550 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Kudus]
6. Sunan Gunung Jati, [w.1569]
7. Raden Husamuddin Sunan Lamongan, [Tahun 1525 menggantikan kakaknya, yaitu Sunan Bonang]
8. Sunan Pakuan, [Tahun 1533 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Derajat]
9. Sunan Muria, [w. 1551]

Angkatan ke-7, 1546- 1591 M, terdiri dari
1. Syaikh Abdul Qahhar [Sunan Sedayu], [wafat 1599]
2. Sunan Prapen, [tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak]
3. Sunan Prawoto, [ tahun 1546 Menggantikan ayahnya Sultan Trenggana]
4. Maulana Yusuf, [pada tahun 1573 menggantikan pamannya yaitu Fathullah Khan [Falatehan], Maulana Yusuf adalah cucu Sunan Gunung Jati]
5. Sayyid Amir Hasan,
6. Maulana Hasanuddin sultan banten, [pada tahun 1569 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Gunung Jati]
7. Sunan Mojoagung [tahun 1570 Menggantikan Sunan Lamongan]
8. Sunan Cendana, [tahun 1570 menggantikan kakeknya, yaitu Sunan Pakuan]
9. Sayyid Shaleh [Panembahan Pekaos], [tahun 1551 menggantikan kakek dari ibunya, yaitu Sunan Muria. Sedangkan Sayyid Shaleh adalah Shaleh bin Amir Hasan bin Sunan Kudus]

Angkatan ke-8, 1592- 1650 M, terdiri dari
1. Syaikh Abdul Qadir [Sunan Magelang], asal Magelang, [wafat 1599], menggantikan Sunan Sedayu
2. Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi, [1650 menggantikan Gurunya yaitu Sunan Prapen]
3. Sultan Hadiwijaya [Joko Tingkir], [tahun 1549 Menggantikan Sultan Prawoto]
4. Maulana Hassanudin sultan banten
5. Sayyid Amir Hasan, asal Kudus
6. Maulana Yusuf putra maulana Hassanudin sultan banten
7. Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani, [tahun 1650 Menggantikan Sunan Mojo Agung]
8. Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri, [tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana]
9. Sayyid Shaleh [Panembahan Pekaos],

Angkatan ke 9, 1650 – 1750M, terdiri dari:
1. Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan [tahun 1750 menggantikan Sunan Magelang]
2. Syaikh Shihabuddin Al-Jawi [tahun 1749 menggantikan Baba Daud Ar-Rumi]
3. Sayyid Yusuf Anggawi [Raden Pratanu Madura], Sumenep Madura [Menggantikan, yaitu Sultan Hadiwijaya / Joko Tingkir]
4. Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani, [tahun 1750 Menggantikan Maulana Yusuf putera sultan banten ]
5. Syaikh Nawawi Al-Bantani. [1740 menggantikan Gurunya, yaitu Sayyid Amir Hasan bin Sunan Kudus]
6. Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir [ tahun 1750 menggantikan buyutnya yaitu Maulana Hasanuddin sultan banten]
7. Sultan Abulmu’ali Ahmad [Tahun 1750 menggantikan Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani]
8. Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri
9. Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan [tahun 1750 menggantikan ayahnya, Sayyid Shalih Panembahan Pekaos]

Angkatan ke-10, 1751 – 1897
1. Pangeran Diponegoro [ menggantikan gurunya, yaitu: Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan]
2. Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, [menggantikan Syaikh Shihabuddin Al-Jawi]
3. Kyai Mojo, [Menggantikan Sayyid Yusuf Anggawi [Raden Pratanu Madura]
4. Kyai Kasan Besari, [Menggantikan Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani]
5. Syaikh Nawawi Al-Bantani. …
6. Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fattah, [menggantikan kakeknya, yaitu Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir]
7. Pangeran Sadeli, [Menggantikan kakeknya yaitu: Sultan Abulmu'ali Ahmad]
8. Sayyid Abdul Wahid Azmatkhan, Sumenep, Madura [Menggantikan Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri]
9. Sayyid Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek), Bangkalan, Madura, [Menggantikan kakeknya, yaitu: Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan]

Tahun 1830 – 1900 Majelis Dakwah para tokoh islam tersebut dibekukan oleh Kolonial Belanda, dan banyak para ulama’ keturunan nya yang dipenjara dan dibunuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar