Minggu, 16 September 2012

Krisis Suriah & Bangkitnya Syiah Militan Indonesia
















Di tengah-tengah senyapnya pemberitaan musibah yang menimpa kaum Muslimin di Suriah, sekelompok orang dari Garda Kemanusiaan (GK) di Bandung dan Institute Strategic for International Studies (ISIS) membuka pendaftaran sukarelawan untuk diberangkatkan ke Suriah. 

Hanya, berbeda dengan kebanyakan o
rganisasi peduli Suriah yang memberikan bantuan kepada rakyat Suriah, gerakan yang dibidani Ahmad Taufik, wartawan Tempo ini justru bertujuan membela rezim penguasa, Bashar Assad.


Sebagaimana dimuat arrahmah.com, menurut mereka Suriah tampak berjuang sendirian. Negara lain justru meninggalkannya saat sedang menderita kesusahan. Oleh sebab itu, Garda Kemerdekaan dan ISIS mengajak saudara-saudaraku rakyat Indonesia untuk membantu rakyat Suriah mengusir pasukan asing yang sedang bergentayangan di Suriah.

GK dan ISIS berpendapat berdasarkan konstitusi UUD 1945 "Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan harus dihapuskan," menjadi pijakan untuk menolak jika pihak asing, terlebih dengan cara mengerahkan pasukannya, mengacaukan suatu negara.

Tentu saja, asing yang dimaksud adalah Amerika dan beberapa negara Arab seperti Saudi dan Qatar yang menjadi sekutunya. Sayangnya, campur tangan Iran dan Rusia tidak disebut sebagai intervensi asing—padahal Iran dengan dukungan terhadap milisi Shabiha yang pro Asad bersama militer Suriah turut membantai rakyat Suriah. Hal ini sekaligus mementahkan statemen bahwa Suriah (baca: rezim Bashar Asad) berjuang sendirian. Padahal, Iran, Rusia dan China memberikan dukungan penuh dan terang-terangan terhadap Bashar.

Banyak yang ganjil dari rilis yang nampaknya dipaksakan dan dibuat terburu-buru itu. Namun, yang menarik dari GK duet ISIS ini adalah kemunculan pro-Bashar secara terang-terangan di hadapan publik.

Selain sebuah temuan yang menarik, di mana GK yang selama ini berjalan berkelindan dengan kepentingan AS di dalam negeri Indonesia, tiba-tiba menjadi seolah-olah geram terhadap AS.

Agenda AS di Indonesia yang dimaksud adalah perang terhadap apa yang disebut sebagai organisasi anarkisme—salah satu sebutan untuk kelompok pro syariat Islam. Garda Kemerdekaan tercatat sebagai organisasi paling anti terhadap kelompok Islam, mulai dari FPI hingga HTI.

Bahkan, Tabloid Intelijen edisi Edisi 16-29 Juni 2006 menyinggung Garda Kemerdekaan mendapat kucuran dana langsung dari USAID, selain dari Ahmadiyah Qadian dan Inggris. Tapi sekarang, kelompok ini mencoba membangun opini publik bahwa mereka sedang melawan Amerika dengan cara mendukung rezim Bashar Assad.

Dukungan terhadap Bashar Assad sebenarnya bisa menjadi pintu masuk untuk menemukan jawabnya. Meski Iran, Rusia dan China disatukan kepentingan agar Suriah pasca-Bashar tidak dikuasi kelompok Islamis, Iran merupakan merupakan negara pendukung yang lebih dominant. Selain soal politis, ada juga soal ideologis. Misalnya kultus terhadap Ali bin Abi Thalib dan misi Parsianisasi Arab dalam program bulan sabit Syiah yang menjulang dari Lebanon hingga Yaman. Ya, ringkasnya, kepentingan ideologi Syiah.

Dan, kita semua tahu, Syiah di Indonesia—dengan dukungan kedutaan Iran—mempunyai akar yang cukup kuat, meski di sebagian wilayah masih malu-malu menyatakan diri sebagai Syiah.

Bandung, tempat Ahmad Taufik Cs mendeklarasikan dukungan bagi Bashar Asad adalah kota subur bagi ideologi tersebut. Di kota itu, berdiri Yayasan Saifik. Yayasan afiliasi Syiah tempat karya Ahmad Taufik berjudul “Seks dan Gerakan Mahasiswa,” diterbitkan.

Aroma Syiah pun dapat dilacak dari asal-usul pendirian Garda Kemerdekaan (GK) itu sendiri. Dalam sebuah wawancara dengan Tabloid Intelijen edisi Edisi 16-29 Juni 2006, Prof. Dawam Raharjo selaku pendiri organisasi itu menyatakan, “Awalnya Garda Kemerdekaan dari orang-orang Syiah yang khawatir menjadi sasaran berikutnya (setelah Ahmadiyah) dari aksi kekerasan.” Waktu itu, Tabloid Intelijen sedang meliput kontroversi seputar Ahmadiyah, di mana GK menjadi pembela ajaran tersebut.

Ide mengirim combatan Indonesia ke Suriah juga menarik untuk dicermati. Selama ini, Indonesia bukan penganut program wajib militer, sehingga sulit menemukan sosok combatan dari masyarakat sipilnya. Kecuali memang ada sekelompok masyarakat sipil tertentu yang melatih diri dengan ketrampilan ala combatan. Dan, GK dikenal sebagai organisasi sipil yang melatih diri dengan ketrampilan militer.

Sebagaimana dimuat dalam Tabloid Intelijen edisi di atas, Ahmad Taufik menegaskan kelompoknya telah melakukan latihan fisik. “Tempatnya di Megamendung dan juga hiking di Gunung Salak,” jawabnya.

Sementara Prof. Dawam Raharjo selaku pendiri sekaligus penasehat GK menambahkan, “Malah yang melatih itu orang baret merah itu, apa namanya, Kopassus. Pokoknya ada orang Kopassus yang mau membantu dalam pelatihan.”

Penjaga sebuah villa di Megamendung yang diklarifikasi Tabloid Intelijen juga membenarkan. “Meluncur dengan tali, merayap dan berguling-guling ala latihan militer di lapangan sempat juga dilakukan.”

Jadi, meski terkesan serampangan dan data yang belepotan sana-sini, kemunculan pro-Bashar Asad ini dapat dianggap sebagai gunung es militansi kaum Syiah di Indonesia. Apalagi, kemunculannya terjadi di tengah-tengah kampanye penggalangan kepedulian terhadap nasib rakyat Suriah yang digalang beberapa ormas Islam di Indonesia.

Di antara tindak lanjut kampanye itu adalah pengiriman tenaga medis oleh Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) ke perbatasan Turki-Suriah. Apakah HASI—sekalipun hanya memberikan bantuan medis bagi rakyat Suriah di pengungsian—dianggap representasi dari Ahlussunnah wal Jamaah Indonesia yang turun langsung titik krisis sehingga kelompok Syiah Indonesia pun “terpanggil” untuk terjun langsung—tak cuma medis, bahkan sampai menerjunkan combatan pula? Wallahu a’lam.


Sumber : http://muslimdaily.net/opini/specialfeature/krisis-suriah-dan-bangkitnya-syiah-militan-di-indonesia-.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar