Jumat, 07 September 2012

Munir (Siapa pembunuhnya?)














RIWAYAT SINGKAT MUNIR

Munir Said Thalib lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 dan meninggal di pesawat Garuda dari Jakarta jurusan ke Amsterdam, pada tanggal 7 September 2004. Pria keturunan Arab ini bekerja pada bidang HAM di Indonesia dan jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.

Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung bak seorang detektif yang sibuk mencari orang-orang hilang yang diduga diculik pada masa itu. Sepak terjangnya pun banyak diangkat oleh media-media yang sepaham dan seinduk dengan penyandang kampanyenya.


Saking beraninya membeberkan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat negara, banyak kalangan bertanya-tanya, siapa di belakang pria berbadan kecil itu? Tapi hingga kini tidak ada jawaban pasti. Munir hanya menyebut bahwa pendorongnya adalah justru istri tercintanya.


Pada tahun 1995, Munir mendapat promosi menjabat sebagai Direktur LBH Semarang selama tiga bulan. Lalu ditarik ke YLBHI, Jakarta, merangkap sebagai Koordinator Kontras pada 1998.


Munir mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain Yap Thian Hien Award dari Yayasan Pusat HAM dan penghargaan dari UNESCO (Badan PBB untuk Ilmu Pengetahuan, Pendidikan dan Kebudayaan) karena dinilai berjasa memperjuangkan HAM di Indonesia.


Lengser dari Kontras, Munir mendirikan lembaga HAM sejenis bernama Indonesian Human Rights Monitor alias Imparsial.


Belakangan, Munir banyak bicara soal RUU TNI yang tengah digodok DPR dan pemerintah. Sembari menyorotinya, Munir mempersiapkan keberangkatannya untuk sekolah S-2 bidang Hukum Humaniter di Universitas Utrecht, Belanda.


Karir terpenting Munir yang diketahui publik:

* Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia Imparsial
* Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (2001)
* Koordinator Badan Pekerja KONTRAS (16 April 1998-2001)
* Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1998)
* Wakil Ketua Bidang Operasional YLBHI (1997)
* Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996)
* Direktur LBH Semarang (1996)
* Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995)
* Koordinator Divisi Pembunuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993)
* Ketua LBH Surabaya Pos Malang
* Relawan LBH Surabaya (1989)

Penghargaan terpenting:
* Right Livelihood Award 2000, Penghargaan pengabdian bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer (Swedia, 8 Desember 2000)
* Mandanjeet Singh Prize, UNESCO, untuk kiprahnya mempromosikan Toleransi dan Anti-Kekerasan (2000)
* Salah satu Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (Majalah Asiaweek, Oktober 1999)
* Suardi Tasrif Awards, dari Aliansi Jurnalis Independen, (1998) atas nama Kontras
* Serdadu Awards, dari Organisasi Seniman dan Pengamen Jalanan Jakarta (1998)
* Yap Thiam Hien Award (1998)

Sumber : http://dibalikperistiwa.blogspot.com/search/label/Kasus%20Munir


SMS MISTERIUS

Isu SMS misterius telah beredar di kalangan wartawan tatkala Mabes Polri tengah menyidik kasus kematian Munir.Kalangan wartawan malah mengaku sudah mendapat informasi semacam itu sesaat setelah laporan Netherland Forensic Institute (NFl) tentang sebab-sebab kematian Munir dilansir publik pada pertengahan November 2004. 

Padahal saat itu Mabes Polri tengah menyidik kasus kematian Munir. Polisi belum lagi menetapkan siapa tersangkanya. Tapi pesan singkat itu telah menyebar kemana-mana, termasuk ke handphone para pejabat, kalangan LSM, dan wartawan ibukota . Entah siapa yang mengirimkan dan menyebarkan SMS ini pertama kali sehingga kemudian menjadi pesan berantai. Pesan berantai tersebut berbunyi :


"Pilot Garuda Pollycarpus: Pada bulan 02-2002 di rekrut oleh Muchdi PR Deputi V BIN sebagai agen utama intelijen negara, diangkat dengan Skep Ka BIN nomor 113/2/2002. Ia diberi senjata api pistol, ditandatangani oleh Serma Nurhadi dan diperpanjang oleh Serma Suparto (SPT)."

Lebih jauh dalam SMS tersebut menyebutkan :
“Sehari setelah kasus itu, nama Polly muncul di media, yang bersangkutan kemudian diminta kembalikan pistol dan hari itu juga, seluruh dokumen Polly, di hapus atau dihilangkan. Yang memerintah adalah Muchdi PR, Spt dan Asad Waka BIN. Gang of 3 ini yang sebenarnya kuasai BIN. Polly sering ke BIN untuk ketemu Muchdi PR untuk merencanakan pembunuhan Munir karena takut di luar negeri Munir akan membuka lagi kasus penculikan aktivis di akhir orba 1997 lalu.”

Di akhir SMS berbunyi,:
“Penyidik Polri dan Kepala BIN yang baru (Syamsir Siregar) diduga mengetahui keterlibatan ke-3 pejabat BIN tersebut dalam pembunuhan Munir. Tetapi tidak berani mengungkap.”

Tentang tersebarnya SMS misterius ini dimuat di situs berita detik.com (1/02/2005).

Inti dari sms-sms yang berseliweran itu berkisar tentang informasi bahwa Polly adalah anggota BIN, punya pistol BIN dan otak pembunuh Munir ada di BIN. Selain itu, bila melihat isi SMS tadi, agaknya si pengirim sudah mengarahkan bahwa Munir mati karena beberapa orang. Dan kuat dugaan bahwa SMS inilah yang kelak kemudian menjadi bahan bagi penyidik dan TPF "menunjuk" target.


Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Kematian Munir yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Desember 2004, yang beranggotakan unsur Polri, Kejaksaan, Departemen Luar Negeri, dan aktivis HAM ini akhirnya memang merekomendasikan agar Polly ditahan. Setelah menahan Polly, TPF kemudian melangkah ke BIN. Tiba-tiba TPF menemukan petunjuk berupa print out komunikasi telepon antara Polly dengan kantor BIN. TPF menetapkan sasaran berikutnya, yakni mantan Kepala BIN Hendropriyono dan Muchdi. Sampai di sini muncul pertanyaan: bagaimana asal usulnya hingga TPF mengarah kepada dua orang ini? Apakah cukup hanya berupa petunjuk dari SMS?


Sampai saat ini belum ada penyelidikan yang mengungkap siapa orang yang menebar SMS misterius itu. Yang pasti, si pengirim SMS itu memiliki data lengkap soal pejabat, LSM dan para wartawan. Di kalangan pers sendiri, isi SMS itu dimuat berulang-ulang. Mirip sekali dengan propaganda.


Memang wajar dan perlu diungkap tentang siapa yang menyuplai informasi kepada TPF? Siapa pula yang rajin mengirimkan SMS kepada wartawan seputar kaitan antara Polly dan BIN?


Demi hukum, SMS misterius ini harus diungkap.

Sumber : http://dibalikperistiwa.blogspot.com/search/label/Kasus%20Munir


WAWANCARA TEMPO DGN AM HENDROPRIYONO - by Tempointeraktif

MUNIR TIDAK MASUK RADAR KAMI

Selasa, 07 Juni 2005 | 12:16 WIB

TEMPO Interaktif, : SENJA baru bergulir ketika Land Cruiser hitam itu memasuki pelataran Markas Besar Kepolisian di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Ahad (29/5). Baru beberapa meter dari gerbang, mobil berhenti. "Kita ke kanan kan, Pak? Ke Kapolri?" tanya sang sopir. "Ah, kau. Bukan! Kita ke bagian pelayanan masyarakat. Udah pensiun enggak ada urusan sama Kapolri," kata sang juragan.


Pensiunan jenderal itu membuka jendela mobil. Dua polisi yang mendekat segera memberi hormat. "Bisa diantar ke Yanmas?" ujarnya. Kedua polisi mengangguk dan berlari di depan mobil Land Cruiser itu sambil menunjukkan arah. Sang pensiunan jenderal tak lain adalah Abdullah Makhmud Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).


Sang jenderal sore itu melaporkan Rachland Nashidik dan Usman Hamid, dua anggota tim pencari fakta kasus kematian aktivis hak asasi manusia Munir ke polisi. Hendro menganggap keduanya telah memfitnah dan mencemarkan nama baiknya lewat pernyataan mereka di media massa.


Di tengah kesibukan menyiapkan berkas pengaduan ke polisi, Ahad lalu, Hendro menyempatkan diri menerima Tempo untuk sebuah wawancara di kantornya, di Jalan Dr. Saharjo, Jakarta Selatan.


Mengapa Anda melaporkan dua anggota TPF ke Mabes Polri?

Saya merasa nama baik saya dicemarkan dengan menyebut di media bahwa saya terlibat kasus ini. Indikasinya apa? Lalu saya dikatakan ke Amerika dan mereka akan memburu saya. Diburu! Kalimat ini menusuk hati. Padahal saya tidak sedang di Amerika. Ini tidak benar dan sudah fitnah. Awalnya saya mengira TPF itu profesional. Saya menganggap ini kasus hukum, jadi harus diselesaikan aparat, bukan secara politik. Tapi ini disalahgunakan. Agendanya tidak jelas, tidak mengarah pada upaya mengungkap kematian Munir. Akibat gembar-gembor di media itu, saya tidak tenang. Karena itu, harus saya lawan secara hukum agar tak jadi preseden.

Seberapa jauh opini itu berdampak pada Anda?
Sangat besar. Misalnya saya sedang menjamu kolega dari luar negeri. Waktu saya persilakan minum, mereka bilang, "Ini ada arseniknya nggak?" Memang bergurau, tapi kan menyakitkan. Kejadian ini bukan sekali-dua kali. Terus dibilang saya mau diperiksa. Ini membuat jadwal saya terganggu. Teman-teman yang sudah berencana bertemu saya membatalkan janji.

Anda di mana dalam beberapa bulan terakhir?
Di Cibubur, di rumah saya.

Sebenarnya Anda tersangkut atau enggak dengan kasus pembunuhan Munir?
Saya merasa tidak tersangkut. Yang tahu hanya Allah. Tapi silakan diperiksa sesuai dengan hukum jika ini disinyalir sebagai satu kejahatan. Ini aspek hukum, jadi harusnya pendekatannya, ya, hukum. Kenapa lalu jadi ingar-bingar di luar hukum?

Jadi, kalau harus memberikan keterangan, Anda maunya ke mana?
Ke polisi, dong. Ke penyidik. Sebagai warga negara, kalau polisi memanggil, wajib datang.

Dari mana Anda tahu disangkutpautkan dengan kasus ini? Sudah ada undangan dari TPF?
Saya hanya baca koran. Tak pernah ada undangan. Telepon juga tak ada. (Kepada sebuah stasiun televisi, Hendro mengaku menerima undangan dari TPF, Selasa malam lalu--Red.)

Jika diundang TPF, Anda akan datang?
Tunggu dulu. Kalau melihat kinerja seperti ini, tidak cermat, tidak profesional, jangankan saya, siapa pun akan mikir dua kali untuk datang. Emangnya siapa dia, bisa sewenang-wenang? Punya keppres terus apa bisa sewenang-wenang?

Pangkalnya adalah Pollycarpus. Benarkah dia anggota BIN?
Saya sudah cek, dia bukan anggota. Tiga tahun saya memimpin BIN. Walau anggotanya ribuan, saya cukup kenal anak buah saya. Apalagi namanya aneh. Seumur hidup saya belum pernah dengar nama itu. Saya sudah mengecek ke personalia BIN. Katanya tidak ada.

Bagaimana pula dengan soal nomor senjata api Polly?
Diracun apa hubungannya dengan senjata?

Tapi TPF mendapat info hubungan telepon Polly dengan seorang Deputi BIN?
Begini, satu kantor birokrasi itu kan kantor pelayanan publik kepada seluruh rakyat yang mau memberikan informasi. Intelijen kan collecting informasi. Jadi, rakyat bisa saja menelepon ke kantor polisi, kantor koramil, ke kantor BIN. Dan semua itu yang menerima bukan saya, melainkan operator. Jadi, mana saya tahu?

Apakah pelacakan nomor telepon BIN diizinkan?
Itu saya terangkan dalam artikel saya di The Jakarta Post. (Dimuat di The Jakarta Post, 11 Mei 2005, dengan judul "Peeling Back the Intelligence Veil in the Murder of Munir"--Red.) Di situ saya jelaskan, memberikan nomor telepon BIN sebenarnya tidak boleh selama kita melakukan gerakan antiterorisme. Nomor seharusnya dirahasiakan. Saya nggak tahu, ini kok malah dibuka. Jadi rusak sama sekali. Ada agenda apa di balik ini?

Kesannya, BIN menghalang-halangi...
Itu salah besar. Tentu saja tidak bisa menceritakan semuanya, karena beberapa hal di BIN menyangkut kerahasiaan negara. Hukuman membocorkan rahasia negara tak hanya untuk yang bertanya. Yang memberi juga kena. Jadi, tidak benar kalau BIN tak pernah memberikan akses kepada TPF. Yang tidak dikasih Pak Syamsir yang rahasia. Saya atau siapa pun, kalau jadi Kepala BIN, harus begitu.

Artikel Anda di The Jakarta Post dan The Straits Times dipersoalkan TPF. Mengapa materi itu tidak disampaikan saja kepada mereka?
Sebagai rakyat, saya punya hak dan kebebasan menulis. Soal ke mana saya tulis dan tidak ke TPF, itu hak saya. Emangnya lembaga ini super sekali sehingga saya harus menyampaikan ke TPF? Apakah saya tidak boleh menerima wawancara Tempo? Siapa yang mengharuskan? Harusnya dia, dong, yang mencari saya. Bukan sebaliknya.

Waktu Munir meninggal, Anda di mana?
Di rumah. Saya tahu waktu baca koran pagi. Awalnya kan dibilang dia punya riwayat sakit hepatitis. Setelah itu, saya nggak ngikutin lagi. Menjelang pergantian presiden, saya sibuk kukut-kukut. Saya concern baru-baru ini saja setelah ramai-ramai disangkut-sangkutin dengan BIN. Saya kaget. Apalagi mulai dibentuk TPF.

Sempat bertemu Munir sebelum meninggal?
Pernah. Dalam wawancara radio El Shinta, saya dipertemukan dengan Munir. Setelah itu, tak pernah lagi. Memang pernah ada keinginan saya bertemu Munir, yang saya sampaikan saat bertemu Todung Mulya Lubis. Saya ingin dia menjadi pembicara tetap untuk sekolah intelijen yang saya rintis. Kami butuh dosen-dosen tamu untuk memberi tambahan wawasan. Tapi, kata Pak Mulya, Munir mau sekolah ke Belanda, ambil master. Di situ saya baru tahu Munir belum S-2. Akhirnya saya tak jadi mengundang dia. Syarat mengajar di sekolah itu kan harus sudah S-2.

(Kepada Tempo, pengacara Todung Mulya Lubis mengakui pertemuan itu. Ia bertemu Hendro sebagai Ketua International Crisis Group (ICG) di Indonesia dan membicarakan nasib rekannya, Sidney Jones, yang akan dideportasi. Ia mengakui adanya pembicaraan soal dosen tamu sekolah intelijen. Mulya ditawari mengajar. Pertemuan pun membahas soal Munir. Namun, seingat Mulya, Hendro berniat bertemu Munir dalam kasus beda pandangan mereka soal RUU Intelijen.)

Apa pertimbangan Anda menawari Munir jadi dosen tamu?

Banyak yang akan diundang. Munir salah satunya. Kebetulan saya concern pada pemikirannya soal HAM. HAM kan diinterpretasikan berbeda-beda. Pemikiran yang berbeda perlu disambut. Di Lemhannas, mereka yang berpikir beda juga disambut.

Benarkah kematian Munir terkait dengan Pemilu 2004? Teorinya, ada perintah kepada BIN untuk melenyapkan Munir, yang anti-militer, dengan maksud mendiskreditkan Yudhoyono sebagai kandidat dari militer.
Wah, makin nggak betul. Setahu saya, dalam kampanye presiden itu, Munir pro-Mega. Dan Ibu Mega tak mungkin memusuhi dia. Malah, kalau nggak salah, rasanya yang mengatur pesawat yang membawa jenazah Munir itu Mas Taufiq (Taufiq Kiemas--Red.).

Selama ini BIN bersikap keras terhadap mereka yang dianggap musuh negara. Apakah Munir termasuk kategori musuh negara?
Nggak! Munir tidak masuk radar kami. Musuh negara itu kan yang membahayakan rakyat, membahayakan pemerintah dan integritas teritorialnya.

Meski dia kritis terhadap intelijen?
Kritis belum tentu musuh. Orang mengkritik beda dengan berkhianat. Tak ada keuntungan politik apa pun dengan meninggalnya Munir. Saya tak punya masalah dengan dia, kenal pribadi juga tidak. Saya bukan tipe orang yang suka dengan orang yang hanya setuju dan mendukung saya. Saya suka orang yang mengkritisi saya, kasih argumen.

Anda sempat mengontak Muchdi dan Nurhadi soal pemanggilan TPF?
Saya hanya baca di koran. Ketemu juga waktu ulang tahun BIN, 7 Mei lalu. Tapi nggak sempat ngomong panjang. Saya khawatir, kalau saya tanya macam-macam, nanti nggak enak, mengganggu. Mungkin mereka juga stres kalau dipanggil-panggil seperti itu.

Anda yakin Muchdi tidak memerintahkan operasi pembunuhan Munir?
Saya sulit percaya Muchdi melakukan pekerjaan seperti itu. Muchdi orang yang religius karena gede di pesantren. Dia juga berpengalaman luas dan profesional.

sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/06/07/brk,20050607-62123,id.html

WAWANCARA DGN MUCHDI PR - 


OLEH MAJALAH MAHKAMAH


Sudah lebih 6 bulan, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara, Muchdi Purwopranjono ditahan terkait kasus kematian Munir. JPU sudah mengajukan tuntutan pidana penjara 15 tahun penjara atas dasar pasa155 ayat (10 ke-2 KUHP jo pasal 340 KUHP. Kini ia tinggal menunggu vania majelis hakim di PN Jakarta Selatan, yang akan dijatuhkan dalam waktu dekat ini. 

Sejak awal persidangan, Muchdi dan tim pembelanya sudah menampik dakwaan JPU. Bahkan sampai di tahap replik, ia bersikukuh menolak tuntutan JPU. Pasalnya, Muchdi me­nilai tak ada satu fakta-fakta yang di­sodorkan JPU dipersidangan, banyak yang bersifat asumsi-asumsi, banyak kebohongannya. 


Untuk mengetahui pandangan pribadi mantan Danjen Kopasus terhadap persidangan terhadap dirinya, Mahkamah menyambanginya di rumah tahanan Brimob Polri Kelapa Dua, himanggis Depok, pekan lalu. Kepada Irawan Santoso dari Mahkamah, dia bertutur banyak. Berikut petikannya :


Bagaimana pendapat anda tentang tuduhan Jaksa Penuntut Umum ?

Kalau anda ikuti jalannya siding-sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka sejak persidangan pertama yang tanggal 26Agustus 2008, sampai dengan saat ini, tidak ada satupun alat bukti atau saksi yang meyakinkan bahwa saya terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. 

Yang ada hanyalah asumsi-asumsi, reka-rekaan, dugaan-dugaan, dan petunjuk-pe­tunjuk. Dapat saya katakan, harkat, martabat dan harga diri saya telah difitnah secara keji dan kejam. Ini fakta yang saya temukan di per­sidangan.

Anda nampak tenang sekali menghadapi tuntutan ini?

Karena saya tidak bersalah. Saya yakin Allah SWT akan memberi pertolongan kepada saya. Saya tidak akan menyerah sampai kapan pun. Mungkin anda menilai saya terlihat kuat karena saya prajurit Koppasus. Perlu anda tahu, mental saya sudah terbentuk sejak saya masih kecil. Sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya sudah menjadi aktifis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Pemuda Muhammadiyah. Saya pernah mengalami ganasnya medan pertempuran nyata sebagai prajurit. Tapi sebelumnya, saya juga terbiasa menghadapi ganasnya pertempuran politik. Saya bangga menjadi barisan Angkatan 66, saya terlibat di Kesatuan Pemuda Pelajar Indo­nesia (KAPPI) di Yogyakarta. 

Dulu saya kerap melakukan kegiatan demonstrasi di Yogyakarta, antara lain yang mengakibatkan gugurnya Aris Margono. Itulah saya. Meski sudah pensiun dari militer, dan BIN, saya ingin terus berjuang untuk bangsa saya. Sampai sekarang ini saya masih aktif di berbagai kegiatan olahraga dan sosial kemasyarakatan. Sejak awal 2008, saya menjadi aktivis salah satu Partai Politik (Gerindra, red), sampai saat ini.

Lalu bagaimana pandangan anda terhadap perkara yang menimpa sekarang ini?

Saya merasakan ada konspirasi tingkat tinggi yang kuat untuk menyudutkan diri saya. Mereka memfitnah dan menghakimi saya dengan menuduh saya terlibat kasus Munir sejak empat tahun lalu. Mereka itu empat serangkai ---Suciwati, Usman Hamid, Hendardi dan Pungky Indarti. 

Ada juga segelintir orang yang menamakan diri Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum). Selain itu, sebagian anggota Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk Presiden tahun 2005, juga memfitnah dan menghakimi saya. Ada lagi oknum-oknum tertentu, termasuk beberapa media massa yang membuat opini menyudutkan diri saya di mata masyarakat. 

Terakhir dari Usman Hamid dengan Kasum -nya mem­buat resume sidang di Pengadilan Negeri (menurut versinya sendiri) ke organisasi-organisasi massa Muhammadiyah. Namun pengurus Muhammadiyah lebih tau tentang diri saya yang sebenarnya.

Anda merasa difitnah?

Pasti. Dan saya yakin, saya akan menemukan kebenaran. Kalau difitnah dan dihakimi sepanjang hidup saya, sudah sering dan berkali-kali. Misalnya, pada tahun 1986, sewaktu saya sedang mengikuti pendidikan Seskoad di Bandung, saya dipanggil oleh Satgas Intel Kopkamtib di Jakarta. Saya ditahan tiga hari dengan tuduhan pernah menjadi anggota Pemuda Rakyat/PKI di daerah Yogyakarta sebelum masuk AKABRI. Mungkin kawan-kawan, saudara-saudara saya pada geli dan geram juga mendengar berita saya ini. Bagaimana mungkin Muchdi Purwopranjono menjadi ang­gota Pemuda Rakyat/ PKI? Yang ter­jadi justru sebaliknya, orang tua dan keluarganya Muchdi menjadi sasa­ran utama PKI di daerah Yogyakarta pada tahun 1965.

Pada tahun 2001 beberapa hari setelah Theis Eluay mati di Jayapura, beredar SMS bahwa Muchdi terlibat pembunuhan tokoh Papua itu. Namun Alhamdulillah, isu tersebut tersebut hilang dengan sendirinya. Selain itu, pada akhir 2005, beberapa hari setelah kejadian Born Bali II, nama saya juga diissue­kan berada di belakang kasus Born Bali II.

Bahkan beberapa hari sebelum saya memenuhi panggilan dari Bareskrim Polri tanggal 19 Juni 2008, rumah saya selama dua hari diamati dan dicurigai oleh Polda Metro, karena diduga menjadi tem­pat persembunyian Munarman. Ya, masih untunglah, orang Jawa itu kan tidak pernah rugi. Isteri dan anak-anak saya sudah biasa menghadapi fitnah semacam ini. Sabar dan tabah adalah modal utama saya, sehingga saya selalu lulus menghadapi fitnah-fitnah semacam itu, termasuk fitnah terlibat dalam kasus Munir saat ini.

Jadi tetap merasa tidak bersalah?

Karena bukan saya yang membunuh Munir. Saya betul-betul difitnah. Sebab itu, anda perhatikan saja sendiri, banyak fakta-fakta yang diajukan jaksa tidak masuk akal. Semua keterangan saksi Suciwati, Usman Hamid dan teman-temannya tersebut adalah karangan belaka. 

Anda silahkan tanya kepada ahli hukum pidana mana saja, baik di dalam maupun luar negeri. Atau anda boleh tanya nurani ternan-ternan jaksa yang tidak masuk tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), secara hukum positif pasti mengatakan, saya tidak ber­salah, atau paling kurang saya tidak pantas untuk dihukum.

Tapi saya mengamati, pendeka­tan yang dilakukan dalam kasus Munir ini adalah kekuasaan semata atau pendekatan politik, tentu saja kebenaran dan fakta-fakta apapun yang terkuak dan terbuka dengan telanjang mata di pengadilan, tidak ada manfaatnya sarna sekali.

Namun, sebagai orang beriman, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah SWT tidak tidur. Kebenaran yang hakiki pasti akan datang, dan mengalahkan fitnah dan kezdoliman yang dibuat manusia atas nama kekuasaan apapun namanya.

Kalau nantinya anda divonis bersalah oleh hakim, bagaimana?

Kalau sampai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan saya bersalah dalam kasus Munir, be­rarti kita mencatat sejarah tentang lembaga pengadilan bangsa kita—Indonesia, yang telah ikut dalam konspirasi tersebut. Namun saya ya­kin hakim kita masih punya nurani untuk mengatakan benar itu benar, dan salah itu salah sesuai aturan hukum positif kita.

Pihak mana saja yang diun­tungkan jika anda dinyatakan bersalah ?

He he he (Muchdi tertawa). Anda ini gimana sih ? pura -pura tidak tahu ya? (Muchdi balik bertanya) Ya siapa lagi, ya tentu saja mereka yang menjadi antek imperialisme asing baik itu dari dalam negeri atau pihak asing yang mencoba menggoyahkan ketahanan nasion­al Indonesia. 

Target jangka pan­jang mereka adalah memperlemah lembaga-lembaga seperti peradilan, lembaga politik, lembaga ekonomi, lembaga keagamaan, lambaga pe­nyidikan dan lembaga sosial ke­masyarakatan. Mereka mengadu domba polisi, intelijen dan tentara. Perhatikan saja dari dulu.

Mereka hanya mau mengatakan opini mereka sendiri, opini orang lain dianggap salah. Mereka bisa mengatur-ngatur dan mengobok­-ngobok lembaga-lembaga tersebut, termasuk lembaga intelejen dan TNI. Ujung-ujungnya Indonesia di­harapkan seperti Uni Soviet dan atau Yugoslvia, yang terpecah men­jadi negara kecil-kecil. 

Apa jadinya bila lembaga peradilan berhasil ditembus oleh mereka. Namun saya yakin seyakin yakinnya bahwa hingga kini satu-satunya lembaga negara yang belum berhasil ditem­bus dan dimasuki oleh kepentingan asing adalah lembaga peradilan. Anda lihat saja, LSM mana sih yang berjuang mati-matian menolak usia pensiun Hakim Agung 70 tahun? Tujuannya apa? Memang apa salah­nya kalau hakim berusia 70 tahun? Di banyak negara di dunia, boleh kok, mengapa di Indonesia tidak? 

Sebabnya, karena mereka ingin mencari kesempatan masuk kesana. Sistim rekruitmen hakim sekarang kan memungkinkan adanya hakim non-karir. Itulah yang mereka incar. Bayangkan kalau orang-orang LSM seperti mereka mengusai peradilan kita. Itu yang harus diwaspadai. Saya sudah baca gelagat itu.

Oke, menurut anda sendiri, siapa sebetulnya pembunuh Munir?

Sejak dari awal saya diperiksa se­bagai saksi untuk Pollycarpus, saya pernah bertanya kepada penyidik, mengapa kita percaya visum dari Netherland Forensic Institute ---Be­landa yang menjajah bangsa kurang lebih 350 tahun. Asal tau saja, sam­pai sekarang Belanda secara de-jure tidak mengakui kemerdekaan Indo­nesia, 17 Agustus 1945. 

Mereka han­ya mengakui, bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hadiah yang mereka berikan pada 27 Desember 1949. Selain itu Belanda belum pernah minta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, pelanggaran HAM, perbudakan selama ratusan tahun di Indonesia. Mereka juga tidak mau bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan tentara Belanda era 1945-1950.

Jadi mengapa kita harus percaya begitu saja kepada mereka? Men­gapa penyidik Polri tidak meminta bantuan lembaga-Iembga forensik dari berbagai universitas _dan rumah sakit di Indonsia. Kalau penyidik percaya begitu saja dengan otopsi versi Belanda, berarti penyidik tunduk kepada kemauan Usman Hamid Cs.
Artinya, mereka tidak mempercayai bahwa bangsa kita sudah merdeka dan banyak yang pintar. Itu adalah mental penjajah Belanda.

Sekarang saya bertanya, kenapa laptop Munir tidak pernah diper­iksa? Dimana hard -disk-nya seka­rang? Mestinya kita bisa dapat ban­yak petunjuk dari isi laptop tersebut. Mengapa pula hand phone Munir tidak diperiksa apa saja isinya? Mengapa Call Detail Record (CDR) Munir, dan orang-orang disekitarnya tidak penah dibuka penyidik ? 

Sebab dengan membuka CDR Munir, pe­nyidik bisa mendapatkan petunjuk, dengan siapa Munir berkomunikasi pada hari-hari terkakhirnya. Kar­ena, kalau kasus pembunuhan ber­encana, bukankah selalu melibatkan orang terdekat? Kenapa dari awal yang disalahkan intelijen? Kok be­lum apa-apa sudah ngomong di me­dia massa bahwa ini kerjaan intel. Itu kan penyesatan publik.

Jadi orang-orang terdekat Munir juga harus dicurigai?

Kalau mengikuti irama dan alur keterangan--cerita empat serangkai yang semuanya berasal dari ling­karan dekat Munir-- kan semuanya menyudutkan saya. Loh mereka dari mana sumbernya? Itu kan aneh. Tidak ikut menyidik, kok bisa ngo­tot menuding orang, dari awal sam­pai sekarang! Jadi sekarang periksa kembali mayat Munir, lakukan otopsi ulang. Periksa record kesehatan Mu­nir? Periksa CDR orang-orang ter­dekatnya. Periksa laptop dan hp-nya. Sebab banyak bukti-bukti petunjuk yang bisa kita dapat dari sana..

Berarti bukan anda yang membunuh atau menyuruh orang membunuh Munir?

Kalau saya punya niat mem­bunuh Munir, mengapa mesti me­nyuruh orang lain? Tanpa bermak­sud menyombongkan diri, asal anda tau saja kalau saya ini pendekar besar Tapak Suci, pendekar Merpati Putih, Dan V Karateka, yang ujian kenaikan dannya itu di Jepang oleh para penguji dari Jepang. Selain itu, saya sebagai prajurit Kopassus yang dilatih dan dididik sebagai prajurit individu atau perorangan. Prajurit Kopassus itu dapat bergerak dan bertempur di daerah musuh secara individu. Anda pernah nonton ngga film Devils Brigade dan sejenisnya ? Begitulah sosok saya kira-kira. Jadi kalau saya mati membunuh, saya bunuh saja sendiri. 

Tapi Mu­nir kan bukan musuh saya. Munir itu kritis, tapi konstruktif. Banyak pikiran-pikiran dia yang kita terima. Sebagai tentara dan orang pemer­intah, kita perlu pengimbang dari orang-orang kritis seperti dia. Mu­nir menurut saya biasa-biasa saja kok. Kalau dinilai berani mengkritik pemerintah atau tentara, saya kira banyak yang lebih berani. Amien Rais contohnya, itu apa kurang be­raninya? Pak Harto aja dilawan kok dulu. Toh buktinya dia masih hidup sekarang. 

Coba cari file-nya pernah ada gak di tokoh-tokoh orang yang kritis kepada pemerintah, tentara atau intelijen mati terbunuh di Indo­nesia? Kan tidak ada. Semua masih hidup kok sampai sekarang. Me­mang katanya ada beberapa aktivis yang hilang sampai sekarang. Loh mereka itu siapa, kapan mereka kri­tis kepada pemerintah, ngomong di­mana, wartawan juga mungkin gak pernah kenaI sarna mereka.

Tapi Munir pengecualian?

Tidak. Saya kira sarna saja. Ban­yak orang bilang Munir mengek­sploitasi keburukan Indonesia ke­pada bangsa asing. Saya kira, kalau betul begitu, banyak kok aktivis yang begitu. Ya, karena cari ma­kannya dari situ. Jadi saya menilai, pembunuh Munir adalah orang atau kelompok yang punya kepentingan terselubung. Mungkin motifnya men­gadu domba bangsa Indonesia. Atau bisa jadi motif ekonomi. 

Lihat saja sekarang, kematian Munir dijadikan isu internasional. Bikin proposal ke­sana-sini agar orang simpati. Maka mengucurlah dana. Karena Munir mati, banyak yang bisa jalan-jalan ke luar negeri kan?
Jadi, sangat naif kalau menuduh saya terlibat dalam kasus kematian Munir. 

Menurut saya, Munir itu menjadi besar setelah dia mati. Ya karena ada yang punya agenda un­tuk membesar-besarkan. Ada pihak-­pihak tertentu yang secara sistematis dan teroganisir menjadikan kema­tian Munir sebagai komoditi, apak­ah itu untuk kepentingan mendap­atkan sesuatu atau politik.

Anda ke­nal dengan Munir?

Saya tidak kenaI secara pribadi. Tapi saya tahu Munir ban­yak berdikusi dengan pimpi­nan-pimpinan saya, baik di pemerintahan maupun mili­ter. Eh, begitu dia mati, kok teman-teman­nya Iangsung menuding ada konspir­asi tingkat tinggi? TNI dan BIN dicurigai. Saya heran mengapa sejak awal, bahkan belum ada penyidikan dari lembaga manapun, yang namanya Usman Hamid itu sudah menuduh BIN sebagai dalang diba­lik kematian Munir ? Ini namanya tetapkan dulu target, barulah cari-­cari dalil pembenaran, menduga­-duga dan berasusmsi-asumsi sana­ sini.
Dengan Pollycarpus ?

Saya ketemu Polly pertama kali ketika saya menjadi saksi pada per­sidangan Polly di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya yang kedua kalinya pada waktu Polly menjadi saksi dalam persidangan saya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selama ini saya belum pernah ketemu, kenaI apalagi ber­hubungan dengan telpon atau hand phone. 

Tapi si Poengky, satu dari empat serangkai itu, membuat ceri­ta tentang hasil investigasi Kontras di Papua, dimana Polly sudah kenaI dengan saya sejak tahun 1987. Ke­tika itu Polly bekerja di perusahaan penerbangan AMA. Sedangkan saya menjadi Dandim di Jayapura, na­mun alibi Poengky itu terbantahkan dengan telak di persidangan. Sebab Polly sejak Desember tahun 1987 su­dah pindah ke Garuda sebagai pilot, sementara saya baru jadi Dandim Jayapura sejak tahun 1988. Jadi karena sama-sarna pernah tinggal di Papua, maka dianggap kita kenaI. 

Anda pernah ke Papua gak? Itu kan luas sekali. Apa karena orang per­nah tinggal di Jawa, berarti mereka saling kenaI. Itu kan logika yang aneh. Kalau penyidik, jaksa dan ha­kim atau masyarakat percaya sama asumsi-asumsi orang-orang seperti dia, apa jadinya negara ini?

Kata Suciwati anda dendam kepada Munir karena suamin­ya mengungkap kasus pencu­likan aktivis yang dilakukan Tim Mawar Kopassus, yang berakibat anda dicopot seba­gai Danjen Kopassus?

Penculikan aktivis oleh Tim Mawar terjadi pada periode sebelum saya menjadi Danjen Kopassus, dan sudah selesai diproses secara hukum oleh Mahkamah Militer. Saya tidak ada kaitan dengan Tim Mawar kar­ena saya baru menjabat Danjen Ko­passus sejak tanggal 28 Maret sam­pai 25 Mei 1998, selanjutnya alih tugas menjadi Wakil Irjen ABRI.

Alibi ini juga terbantahkan den­gall sangat jelas di persidangan ka­sus saya, karena berdasarkan kes­aksian mantan Komandan Puspom TNI Angkatan Darat, Mayjen TNI (Purn.) Jasri Marin yang melaku­kan penyidikan terhadap anggota Tim Mawar, kegiatan Tim Mawar terjadi antara tahun 1997 sam­pai dengan akh­ir Maret 1998. Ketika itu saya masih menjabat Pangdam Tanjungpura di Kalimantan.

Supaya masyarakat tau, saya ulangi ya sekali ya, kalau saya baru menjabat Danjen Kopassus itu pada 28 Maret 1998. Ketika saya menjabat Danjen Kopa­ssus itulah, saya yang memer­intahkan un­tuk membebas­kan para aktivis yang disekap Tim Mawar. Sekarang kok jadinya malah saya yang dituduh sakit hati kepa­da Munir karena dicopot dari Dan­jen Kopasus berkaitan operasi Tim Mawar yang sedang dinvestigasi oleh Munir.

Cerita-cerita yang dibolak-balik seperti ini, baik ketika di penyidikan maupun di persidangan bisa dilihat dan disaksikan secara telanjang. Tidak lagi dibutuhkan keahlian tertentu untuk menyaksikannya. Masyarakat disuguhkan kebohon­gan demi kebohongan, fitnah demi fitnah, intrik demi intrik. 

Tragis­nya, penyidik dan penuntut mau juga terima kebohongan itu mentah­-mentah tanpa ada kecurigaan, atau memang itu mau mereka untuk tidak mencurigai informasi bohong tersebut?

Menurut penuntut umum, anda-Iah yang merekrut Polly sebagai agen BIN?

Begini, semua agen BIN terdata dan tercatat di kantor BIN. Sudah banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai agen BIN, dengan me­malsukan surat keterangan agen BIN untuk kepentingan tertentu, mulai dari cari kepentingan proyek di daerah, kepentingan bisnis bah­kan kepentingan yang bersifat indi­vidu sekalipun. Ada yang ketahuan dan diproses sampai dengan pen­gadilan, tetapi ada juga yang belum ketahuan.

Saya kenaI nama Polly itu dan berita-berita dimedia massa, dan nonton televisi. Sedangkan ketemu baru dua kali, yaitu satu kali di per­sidangan dia, dan satu kali lagi di persidangan saya. Makanya Polly itu agen atau anggota BIN, saya tidak tahu.

Sebenarnya, apa saja tugas-tugas BIN itu ?

Kalau anda tanya tugas-tugas BIN, sebaiknya anda datang ke kan­tor BIN di Pejaten. Mungkin disana anda akan mendapatkan penjelasan tentang tugas-tugas BIN yang lebih luas dan mendalam.

Ada saksi memberatkan, namanya Budi Santoso, bawa­han anda di BIN. Siapa dia?

Sarna dengan kebingungan dan keheranan anda, saya juga heran, ragu dan bertanya. Tanya, siapa sebenarnya Budi Santoso itu, yang kesaksiannya hanya bisa dibacakan di persidangan. Sejak awal sidang, kita sudah ngotot dan minta-minta kepada jaksa supaya bisa menghad­irkan saksi Budi Santoso di depan persidangan. Mengapa Budi Santoso bisa datang memberikan kesaksian kepada penyidik sebanyak empat kali, tetapi tidak bisa ikut di per­sidangan satu kalipun di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan?

Apa benar Budi Santoso yang dimaksud adalah mantan Direktur 5.1 BIN? Atau han­ya orang yang memang disu­ruh penyidik mengaku-ngaku bernama Budi Santoso?

Menurut saya, itu bukan Budi Santoso mantan Direktur 5.1 BIN, karena dalam BAP-nya banyak mengarang-ngarang cerita yang tidak logis, karena lebih banyak kalimat atau kata-kata seperti ki­ra-kira, mungkin dan lain-lain.

Jadi benar tidak ada orang bernama Budi Santoso di BIN?

Kalau anda mau tau ten­tang keberadaan Budi Santoso yang mantan Direktur 5.1 BIN tersebut, ya tanya saja ke kantor BIN di Pejaten, apakah dia masih ada dan bertugas di BIN atau tidak. Yang tahu itu BIN.

Dalam repliknya, penuntut umum berharap hakim mem­pertimbangkan rasa keadilan bagi masyarakat intemasional, tanggapan anda ?

Ini dia masalah­nya. Sebagai anak bangsa, saya benar­benar tersinggung dan terusik. Terlepas dari saya atau anak bangsa lainnya yang jadi ter­dakwa, namun hara­pan JPU agar hakim mempertimbangkan rasa keadilan bagi masyarakat interna­sional ini jelas-jelas membuktikan, JPU membawa misi atau ke­pentingan asing dalam persidangan saya ini. Dugaan saya, misi yang diemban JPU berasal dari Perlemen Eropa dan Kongres Amerika Serikat, yang berkali­-kali menyurati Presi­den SBY agar menun­taskan kasus ini.

Saya setuju ka­sus Munir ini ditun­taskan, namun tidak berdasarkan tekanan pihak asing. Kita sendiri berkepentingan menuntaskan kasus ini, karena negara kita berdasar­kan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan yang dikendalikan pihak asing. Saya jadi bertanya-­tanya, JPU pada persidangan saya ini apakah jaksanya pihak asing yang diselundupkan ke Pengadi­Ian Negeri Jakarta Selatan, atau jaksanya Republik Indonesia?

Sumber:
Majalah MAHKAMAH
Edisi.4. Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar