Minggu, 16 September 2012

Pangeran Wangsakerta Sejarawan Pertama Indonesia

















Pangeran Wangsakerta dari Cirebon mungkin merupakan orang Indonesia yang pertama kali berusaha menyusun sejarah bangsanya selengkap mung­kin. Untuk keperluan penyusunan “buku induk” sejarah itu, ia melaku­kan hal-hal positif yang bahkan menurut penilaian orang Indonesia se­karang masih terlalu “ilmiah” sehingga diragukan (Ayotrohaedi 1981).


Apalagi karena secara kebetulan usaha untuk lebih memperkenalkannya baru dilakukan setelah muncul ihwal pemalsuan catatan harian Adolf Hitler di Jerman. Apakah naskah yang disusun Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawannya, juga hanya karya orang iseng setelah tahun 1950?

Usaha memperkenalkan karyanya, walaupun sedikit demi sedikit, sudah dilakukan sejak tahun 1981 yang lalu (Ayatrohaedi 1981, 1981a, 1983, 1983a, 1983b, 1983c, 1983d, 1983e, 1983f, 1983g, 1984, 1984a, 1984b; Yoseph Iskandar 1983, Saleh Danasasmita 1982) sedemikian jauh, jus­tru usaha untuk memperkenalkan sang sejarawan sendiri belum pernah dilakukan.

PANGERAN TANPA WILAYAH

Wangsakerta adalah anak ketiga Panembahan Girilaya dari Cirebon. Girilaya yang meninggal tahun 1662 adalah cucu Sunan Gunung Jati dan ber­kuasa di Cirebon menggantikan kakeknya, karena ayahnya sendiri sudah meninggal ketika Sunan Gunung Jati masih berkuasa.

Girilaya menikah dengan seorang putri Mataram, dan perkawinan itu menghasilkan tiga anak lelaki.
1. Anak sulung bernama Pangeran Martawijaya yang kemudian menjadi Sultan Sepuh I dan menurunkan para penguasa kesepuhan,
2. anak kedua bernama Pangeran Kartawijaya yang menjadi Sultan Anom I dan menjadi leluhur para sultan Kanoman,
3. sedangkan anak ketiga Pangeran Wangsakerta, tidak memperoleh warisan daerah. Ia kemudian menjadi “tangan kanan” abangnya, Sultan Sepuh I (Kosch 1979; 85; PS Sulendraningrat 1974; 66).

Hubungan baik dengan Mataram berkat perkawinan Girilaya dengan putri Mataram itu rupanya tidak berjalan mulus. Sultan Mataram tidak urung mencurigai Panembahan Girilaya sehingga akhirnya berhasil menawan Girilaya dan kedua anaknya di Mataram. Girilaya diundang ke Mataram, disertai Martawijaya dan Kartawijaya, tetapi sesampai disana tidak diper­bolehkan kembali ke Cirebon. Karena Wangsakerta tidak ikut ke Mataram, ia pun tidak ditawan (Edi S Ekajati 1984…).

Setelah Panembahan Girilaya meninggal di Mataram, kedua anaknya kem­bali ke Cirebon, dan dengan persetujuan Sultan Banten, Cirebon dipecah menjadi Kasepuhan dan Kanoman. Walaupun Wangsakerta juga menpero­leh daerah, ia tidak diangkat sebagai sultan.

PUSTAKA RAJYARAJYA I BHUMI NUSANTARA

Pangeran Wangsakerta seorang “kutu buku”. Petunjuk kearah itu kita peroleh dari jilid terakhir karya utamanya yang bernama Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara (‘Kitab tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara’). Jilid terakhir yang merupakan daftar pustaka itu menyebut­kan tidak kurang dari 1.700 judul naskah atau karangan yang pada masa itu terdapat di perpustakaan kerajaan Cirebon, terutama Kasepuhan, me­ngingat Wangsakerta menjadi pembantu utama Sultan Sepuh I (Ayatrohaedi 1983.. ).

Usahanya menyusun buku induk itu pun nampaknya didasari oleh kegemar­annya membaca itu. Disamping itu, ada alasan lain yang secara resmi dikemukakannya dalam Purwaka ‘Kata pengantar’ tiap jilid karyanya itu. Menurut kata-katanya sendiri, karya itu dikerjakan karena :

“ …… di­nawuhan de ning ayayahku yata pangeran rasmi kawan namasidam panembahan adiningratkusuma athawa panembahan girilaya ngaranya waneh ri kala sang rama ta tan angemasi. Mangkang juga ngwang dinawuhan anyerat iti pustaka de ning sultan banten yata pangeran adulpatha abdulpatah lawan pramanaran abhiseka sultan ageng tirtayasa. Kumwa juga susuhunan mataram yata pangeran arya prabhu adi mataram i kang ngaran ira susuhunan amangkurat mahyun i mangkana, kumwa jugakweh manih sang pinakadi i bhumi swarnadwipa mwang jawadwipanung mahgyung ing mangkana”.

Jadi, menurut Wangsakerta, sekurang-kurangnya ada tiga orang penguasa di Jawa yang menugasinya menyusun naskah itu, yaitu :
1. Panembahan Girilaya (Cirebon),
2. Sultan ageung Tirtayasa (Banten),
3. dan Sultan Amangkurat II (Mataram).

Disamping itu para penguasa daerah lain yang lebih kecil di Jawa dan Sumatra pun menunjang usaha tersebut.

Ketiga penguasa Jawa itu berkuasa sekitar paro-akhir abad ke-17. Me­ngingat keterangan Wangsakerta sendiri yang menyebutkan bahwa kedua abangnya masing-masing menjadi Sultan Sepuh dan Sultan Anom, dapat dipastikan bahwa tugas yang diterima sebelum ayahnya meninggal (1662) itu, baru dilaksanakannya pada masa pemerintahan abangnya.

Berdasarkan kolo­fon yang tercantum pada akhir setiap jilid memang dapat diketahui bahwa seluruh naskah itu disusun selama 21 tahun (1670-91 Masehi) (Ayatroha­edi 1983 …).

Pangeran Wangsakerta mempunyai nama lain, al :
- Abdulkamil Muhammad Nasaruddin, yaitu namanya setelah ia berkedudukan sebagai Panembahan Car­bon.
- Nama lainnya lagi, yang kurang dikenal, ialah Panembahan Agong Gus­ti Carbon
- dan Panembahan Tohpati.

Di kalangan Cirebon sendiri, Wangsa­kerta lebih dikenal sebagai pangeran Arya Carbon yang menyusun naskah Purwaka Caruban Nagari (1720).

PANITIA WANGSAKERTA & TUGAS NYA

Untuk melaksanakan tugas dari ketiga sultan itu, Pangeran Wangsakerta meminta bantuan tujuh orang pemuka dan ahli di Cirebon. Mereka itulah yang pada hakekatnya bertindak sebagai “Panitia Wangsakerta” dengan tugas yang cukup berat itu. Para anggota itu ialah :
- Ki Raksanagara,
- Ki Ang­gadiraksa,
- Ki Purbanagara,
- Ki Singhanagara,
- Ki Anggadiprana,
- Ki Angga­raksa,
- dan Ki Neyapati.

Kesejarahan tokoh-tokoh itu seharusnya tidak usah diragukan, mengingat enam orang diantara mereka tercatat namanya dalam Dagregister (Atja 1984)

Pangeran Wangsakerta bertindak selaku penanggungjawab, pengambil kepu­tusan terakhir, dan penyusun tunggal naskah akhir naskah setelah “bahan baku”nya tersedia. Bahan baku itu diperoleh dengan berbagai macam ca­ra, antara lain :
- dengan pengumpulan sumber di lapangan,
- wawancara dengan para ahli,
- kajian kepustakaan,
- dan seminar atau lokakarya khusus.
- Ki Raksanagara bertugas sebagai penulis naskah dan mengurus keperluan para ahli yang dikumpulkan di Cirebon. Sebagai penulis ia mempunyai wakil, yaitu Ki Anggadiraksa yang juga bertindak sebagai bendahara proyek itu.
- Ki Purbanagara bertugas untuk mengambil dan mencari semua naskah yang terdapat di berbagai negara, sekaligus memilih mana yang meme­nuhi syarat untuk dipergunakan sebagai sumber penulisan.
- Ki Sanghana­gara bertugas sebagai kepala rumah tangga keraton dan menempatkan para duta selama mereka berada di Cirebon, ia mempunyai anak buah sebanyak 70 orang.
- Ki Anggadiprana bertugas sebagai duta keliling ke berbagai negara, mengundang mereka untuk mengikuti pertemuan di Cirebon, dan ju­ga menjadi juru bahasa dalam pertemuan.
- Ki Anggaraksa, bertugas mengurus jamuan dan hidangan,
- sedangkan Ki Nayapati bertanggungjawab atas pemon­dokan, pengangkutan, dan keamanan.

Tugas utama Panitia Wangsakerta ialah menyusun “buku induk” sejarah Nusantara. Untuk maksud tersebut, panitia menempuh tahap-tahap pengum­pulan bahan, penyaringan sumber, penyusunan naskah. Jadi, sama halnya dengan kegiatan yang pasti dilakukan oleh para sejarawan modern seka­rang ini.

Tahap pengumpulan sumber mencakup kegiatan-kegiatan pengumpulan sumber di lapangan, wawancara dengan para ahli, kajian kepustakaan, dan penyelenggaraan seminar atau lokakarya sejarah. Pengumpulan sumber di la­pangan terutama dilakukan oleh Ki Purbanagara, yang tugasnya memang me­ngambil dan mencari semua naskah yang terdapat di berbagai negara. Ki Purbanagara jugalah yang rupanya diberi tugas untuk mengundang para ahli untuk turut berperan dalam seminar atau lokakarya yang diselenggarakan di Cirebon.

Kajian kepustakaan menjadi tugas Pangeran Wangsakerta, se­suai dengan pengakuannya sendiri :

“…. karana mami wus akweh mangajya sarwasastra katha ning rajya-rajya i bhumi nusantara ….” “…. karena saya sudah banyak mempelajari segala macam kitab kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara …. ”.

Wawancara dengan para ahli dilakukan terutama bersamaan waktunya de­ngan penyelenggaraan lokakarya. Kegiatan itu dipusatkan di paseban keraton Kasepuhan, Cirebon. Pesertanya berasal dari seluruh Nusantara, terdiri dari :
- para mahakawi,
- para duta yang ada di Cirebon,
- mantri pa­tih,
- senapati,
- ulama (dang accaryagama),
- ahli kemasyarakatan (widya­janapada),
- ahli ilmu agama (widyagama),
- dan ahli ilmu politik (widyanagara).

Tercatat tidak kurang dari 70 daerah yang mengirimkan utusan ke loka­karya tersebut, disamping “hana juga pirang amatyanung tan taka” ada juga (banyak) ahli yang tidak datang. Mereka berkumpul di Cirebon, selain untuk bersawala dalam lokakarya, juga menulis bermacam monografi mengenai daerahnya masing-masing. Itulah sebabnya, mengapa di per­pustakaan keraton Kasepuhan pada akhir abad ke-17 itu, terdapat tidak kurang dari 1.700 buah naskah yang sempat tercatat oleh Pangeran Wang­sakerta dalam jilid terakhir karyanya.

Diantara naskah itu, ada yang isinya tentang bahasa, penduduk, para pahlawan, para raja dan penguasa yang memerintah di daerah masing-masing.

Tahap penyaringan rupanya menjadi tugas khusus panitia, terutama ketu­anya, Pangeran Wangsakerta. Penyaringan pertama juga dilakukan oleh Ki Purbanagara, yang dalam kegiatan mencari dan mengumpulkan naskah di berbagai negara, sekaligus juga sudah memilih naskah yang memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai sumber penulisan.

Tetapi jelas, pe­nyaringan itu terutama dilakukan oleh Pangeran Wangsakerta sendiri, apalagi jika terjadi sawala yang panas dan berkepanjangan diantara para peserta lokakarya. Jika suasana panas itu memuncak, Pangeran Wang­sakerta menutuskan untuk mengambil alih masalah dan menentukan pilihan terakhir, karena bukankah dengan pengetahuannya yang luas mengenai se­gala macam kitab itu ia “angasoraken sira kabeh” “mengalahkan mereka semua”?

Pilihan terakhir itu biasanya merupakan lampah tengah! “jalan tengah”, dengan senantiasa mengingatkan para peserta akan tujuan uta­ma pertemuan mereka, yaitu menyusun “buku induk” sejarah. Namun Pa­ngeran Wangsakerta tetap mengakui adanya kemungkinan kesalahan menyu­sun, dan karenanya ia meminta maaf jika sampai terjadi hal semacam itu, “yadyapin mangkana waraksamakena yan hanekang salah atau kaluputan ing panusun iti pustaka”.

Tahap penyusunan akhir menjadi tugas Pangeran Wangsakerta sendiri, dibantu oleh para anggota panitia, terutama Ki Raksanagara dan Ki Anggadiraksa sebagai penulis dan wakil penulis naskah. Nampaknya penyusunan itu memang merupakan tugas yang sangat sukar, antara lain sebagai akibat munculnya berbagai beda pendapat di antara para peser­ta lokakarya yang cenderung menyalahkan orang lain dan menganggap dirinya paling baik.

Rupanya kegiatan penyaringan itulah yang ber­langsung lama. Akibatnya, penyusunan naskahnya pun menjadi berkepan­jangan juga. Seluruh naskah yang terdiri dari 25 jilid itu baru sele­sai digarap dalam waktu 21 tahun. Dengan catatan bahwa ada masa-teng­gang selama 12 tahun antara penyusunan jilid terakhir parwa keempat (jilid 20) dengan seluruh parwa, kelima (jilid 21-5). Masa tenggang itu dipergunakan oleh Pangeran Wangsakerta untuk menyusun sejumlah naskah lain yang diantaranya bersumber kepada naskah utama itu juga.

KARYA PANGERAN WANGSAKERTA

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara dapat diketahui bahwa Pangeran Wangsakerta sangat rajin me­nulis. Disamping menyusun naskah Pustaka tersebut, ia juga menulis sejumlah naskah yang lain, terutama pada masa tenggang 12 tahun (1680-91). Selama itu ia menulis karya sejarah yang lain, semuanya tidak kurang dari 18 jilid. Disamping itu, ada sebuah naskah lain yang ditulisnya pada waktu yang lebih kemudian, yaitu Pustaka Purwaka Caruban Nagari (1720).

Dengan demikian, seluruh naskah yang ditulisnya selama 50 tahun ialah :
- Pustaka Rajya-rajya i bhumi Nusantara (25 jilid),
- Naga­rakertabhumi (8 jilid),
- Pustaka Pararatwan (Jawamandala, Sundamandala, daerah lain, 10 jilid.),
- dan Purwaka Caruban Nagari (1 jilid).

Dibandingkan dengan kebiasaan menulis “kisah sejarah” yang terdapat pada umumnya orang Indonesia masa itu, gaya Wangsakerta jelas sekali berbeda. Tidak seperti karya “sejarah” yang lain (babad, hi­kayat, sejarah, kisah, tambo, atau carita) banyak sekali mengandung unsur mitos, dongeng, atau legenda yang berada “di luar akal sehat”/tidak masuk akal.

Hal itu menyebabkan tugas ahli sejarah untuk menyaring sumber-sumber tersebut (babad, hi­kayat, sejarah, kisah, tambo, atau carita) cukup berat. Sejarawan dihadapkan kepada suatu suasana yang mencampur-adukan dongeng dan peristiwa sejarah.

Keadaan seperti itu tidak terdapat didalam karya Wangsakerta. Ia me­nyusun karyannya berdasarkan sumber sejarah yang (menurut hematnya) benar-benar dapat dipercaya. Karena itu, hasilnya pun tentu saja sebuah karya yang dapat dipercaya juga. Karya itu, terutama Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, oleh sebagian sarjana Indone­sia dianggap “terlalu sejarah” untuk masyarakat Indonesia 300 tahun yang lalu. Rupanya mereka lupa bahwa sebelum tahun 1000 pun orang In­donesia sudah “terlalu maju teknologi” sehingga menghasilkan Borobudur, Prambanan, Sewu, dan Ratubaka!

MASA HIDUP WANGSAKERTA

Sedemikian jauh belum diperoleh data yang pasti mengenai usia Wangsa­kerta. Ada dua titimasa yang dapat dipergunakan untuk mencoba memperkirakan kapan Wangsakerta hidup.
- Titimasa pertama ialah tahun kematian Panembahan Girilaya, ayahnya,
- sedangkan titimasa kedua ada­lah tahun penyusunan Purwaka Caruban Nagari.

Menurut catatan yang ada, Panembahan Girilaya meninggal tahun 1662, dan ia meninggalkan tiga orang anak lelaki. Wangsakerta sebagai anak ketiga (bungsu), tentunya harus sudah lahir sebelum tahun itu. Jika disesuaikan dengan pernyataannya sendiri bahwa ayahnyalah yang menu­gasinya. Menyusun sejarah, berarti ketika menerima perintah itu ia su­dah cukup dewasa. Karena tugas itu baru dilaksanakan pada masa kekua­saan Sultan Sepuh I, abangnya, itu berarti bahwa kegiatan lokakarya itu seharusnya berkangsung antara tehun 1662 (kematian Girilaya) dan 1669 (selesai penyusunan jilid pertama).

Mengingat bahwa ketika pemerintahan Sultan Sepuh I, Wangsakerta menja­di tangan kanan dan pembantu utama Sultan, seharusnya ketika itu ia sudah cukup matang di sidang pemerintahan dan bacaan. Jika dianggap bahwa usia 25 tahun merupakan kemungkinan paling muda untuk mengukur kedewasaan kejiwaan seseorang, berarti Wangsakerta lahir sekitar tahun 1645, tahun terakhir pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Dugaan ini cocok, mengingat bahwa dua orang sultan yang memberinya perintah (Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten dan Sultan Amangkurat II dari Mataram) juga berkuasa sesudah tahun 1650. Artinya, pada masa pemerintahan ke­dua orang sultan itu, Wangsakerta memang sudah menjadi seorang yang dewasa dan matang.

Titimasa penulisan Purwaka Caruban Nagari dapat dipergunakan untuk memperkirakan tahun akhir hayatnya. Mengingat bahwa naskah itu disusun tahun 1720, dapat dipastikan bahwa sampai tahun itu Wangsakerta masih hidup. Itu berarti bahwa Wangsakerta sedikit-dikitnya hidup selama 75 tahun (1645-720), dan 50 tahun terakhir dari usianya itu selalu diper­gunakan untuk mempelajari, menyusun, dan menulis karya sejarah. Sungguh suatu prestasi yang sukar dicari bandingannya, & semua karyanya itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dari kacamata modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar